Jumat, 02 Juli 2010
Rabu, 30 Juni 2010
KEUTAMAAN BULAN RAJAB
BULAN RAJAB adalah bulan dari empat bulan qomariah yang dimuliakan Allah SWT selain bulan Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Muharram. Dinamakan bulan haram karena setiap ibadah dan ketaatan yang dilakukan pada bulan ini dilipatgandakan kebaikan dan pahalanya, sehingga mulia disisi Allah SWT. Dinamakan bulan haram juga karena di bulan ini haram hukumnya menumpahkan darah, berperang, dan melakukan kejahatan lainnya, sehingga kejahatan itu dilipatgandakan siksanya dan karenanya Allah SWT murka. KELEBIHAN BULAN RAJAB Beberapa hadis Rasulullah saw menunjukkan kelebihan bulan rajab: 1.Hendaklah kamu memuliakan bulan Rajab, niscaya Allah memuliakan kamu dengan seribu kemuliaan di hari Qiamat. 2.Bulan Rajab bulan Allah, bulan Sya’ban bulanku, dan bulan Ramadhan bulan umatku. 3.Kemuliaan Rajab dengan malam Isra’ Mi’rajnya, Sya’ban dengan malam nisfunya dan Ramadhan dengan Lailatul-Qadarnya. 4.Puasa sehari dalam bulan Rajab mendapat syurga yang tertinggi (Firdaus).Puasa dua hari dilipatgandakan pahalanya. 5.Puasa 3 hari pada bulan Rajab, dijadikan parit yang panjang yang menghalangnya ke neraka (panjangnya setahun perjalanan). 6.Puasa 7 hari pada bulan Rajab, ditutup daripadanya 7 pintu neraka. 7.Puasa 16 hari pada bulan Rajab akan dapat melihat wajah Allah di dalam syurga, dan menjadi orang yang pertama menziarahi Allah dalam syurga. 8.Kelebihan bulan Rajab dari segala bulan ialah seperti kelebihan Al-Quran keatas semua kalam (perkataan). 9.Puasa sehari dalam bulan Rajab seumpama puasa empat puluh tahun dan iberi minum air dari syurga. 10.Bulan Rajab Syahrullah (bulan Allah), diampunkan dosa orang-orang yang meminta ampun dan bertaubat kepada-Nya. Puasa dalam bulan Rajab, wajib bagi yang ber puasa itua.Diampunkan dosa-dosanya yang lalu. Dipelihara Allah umurnya yang tinggal.Terlepas daripada dahaga di akhirat. 11.Puasa pada awal Rajab, pertengahannya dan pada akhirnya, seperti puasa sebulan pahalanya. 12.Siapa bersedekah dalam bulan Rajab, seperti bersedekah seribu dinar,dituliskan kepadanya pada setiap helai bulu roma jasadnya seribu kebajikan, diangkat seribu derjat, dihapus seribu kejahatan - “Dan barang siapa berpuasa pada tgl 27 Rajab/ Isra Mi’raj akan mendapat pahala seperti 5 tahun berpuasa.” - “Barang siapa yang berpuasa dua hari di bulan Rajab akan mendapat kemuliaan di sisi ALLAH SWT.” “Barang siapa yang berpuasa tiga hari yaitu pada tgl 1, 2, dan 3 Rajab, maka ALLAH akan memberikan pahala seperti 900 tahun berpuasa dan menyelamatkannya dari bahaya dunia, dan siksa akhirat.” - “Barang siapa berpuasa lima hari dalam bulan ini, permintaannya akan dikabulkan.” - “Barang siapa berpuasa tujuh hari dalam bulan ini, maka ditutupkan tujuh pintu neraka Jahanam dan barang siapa berpuasa delapan hari maka akan dibukakan delapan pintu syurga.” - “Barang siapa berpuasa lima belas hari dalam bulanini, maka ALLAH akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan menggantikan kesemua kejahatannya dengan kebaikan, dan barang siapa yang menambah(hari-hari puasa) maka ALLAH akan menambahkan pahalanya.” Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam Mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau dibulan Rajab ini”. Dalam sebuah riwayat Tsauban bercerita : “Ketika kami berjalan bersama-sama Rasulullah SAW melalui sebuah kubur,lalu Rasulullah berhenti dan beliau menangis dengan amat sedih, kemudian beliau berdoa kepada ALLAH SWT. Lalu saya bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah mengapakah engkau menangis?” Lalu beliau bersabda : “Wahai Tsauban, mereka itu sedang disiksa dalam kuburnya, dan saya berdoa kepada ALLAH, lalu ALLAH meringankan siksa ke atas mereka”. Sabda beliau lagi: “Wahai Tsauban, kalaulah sekiranya mereka ini mau berpuasa satu hari dan beribadah satu malam saja di bulan Rajab niscaya mereka tidak akan disiksa di dalam kubur”. Tsauban bertanya: “Ya Rasulullah, apakah hanya berpuasa satu hari dan beribadah satu malam dalam bulan Rajab sudah dapat mengelakkan dari siksa kubur?” Sabda beliau: “Wahai Tsauban, demi ALLAH Zat yang telah mengutus saya sebagai nabi, tiada seorang muslim lelaki dan perempuan yang berpuasa satu hari dan mengerjakan sholat malam sekali dalam bulan Rajab dengan niat karena ALLAH, kecuali ALLAH mencatatkan baginya seperti berpuasa satu tahun dan mengerjakan sholat malam satu tahun.” Sabda beliau lagi: “Sesungguhnya Rajab adalah bulan ALLAH, Sya’ban adalah bulan aku dan bulan Ramadhan adalah bulan umatku”. “Semua manusia akan berada dalam keadaan lapar pada hari kiamat, kecuali para nabi, keluarga nabi dan orang-orang yang berpuasa pada bulan Rajab, Sya’ban dan bulan Ramadhan. Maka sesungguhnya mereka kenyang, serta tidak akan merasa lapar dan haus bagi mereka.”
Selasa, 29 Juni 2010
Khutbah Terakhir Nabi Muhammad SAW
9 ZULHIJJAH TAHUN 10 HIJRAH, DI LEMBAH URANAH, GUNUNG 'ARAFAH "Wahai manusia dengarlah baik-baik apa yang hendak ku katakan !!! Aku tidak mengetahui apakah aku dapat bertemu lagi dengan kamu semua selepas tahun ini. Oleh karena itu dengarlah dengan teliti kata-kataku ini dan sampaikanlah kepada orang-orang yang tidak dapat hadir di sini pada hari ini. Wahai manusia, sebagaimana kamu menganggap bulan ini dan kota ini sebagai suci maka anggaplah jiwa dan harta setiap orang Muslim sebagai amanah suci. Kembalikanlah harta yang diamanahkan kepada kamu kepada pemiliknya yang berhak. Janganlah kamu sakiti siapapun agar orang lain tidak menyakiti kamu pula. Ingatlah bahwa sesungguhnya kamu akan menemui Tuhan kamu dan Dia pasti akan membuat perhitungan atas segala amalan kamu. Allah telah mengharamkan riba', oleh karena itu segala urusan yang melibatkan riba' hendaklah dibatalkan mulai sekarang. Berwaspadalah terhadap syaitan demi keselamatan agama kamu. Dia (syaitan) telah berputus asa untuk menyesatkan kamu dalam perkara-perkara besar maka berjaga-jagalah supaya kamu tidak mengikutinya dalam perkara-perkara kecil. Wahai manusia, sebagaimana kamu mempunyai hak atas para isteri kamu, mereka juga mempunyai atas kamu. Sekiranya mereka menyempurnakan mereka atas kamu maka mereka juga berhak untuk diberi makan dan pakaian dalam suasana kasih sayang. Layanilah wanita-wanita kamu dengan baik! dan berlemah lembutlah terhadap mereka karena sesungguhnya mereka adalah teman dan pembantu kamu yang setia. Dan hak kamu atas mereka ialah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang kamu tidak sukai ke dalam rumah kamu dan dilarang melakukan zina. Wahai manusia, dengarlah bersungguh-sungguh kata-kataku ini. Sembahlah Allah, dirikanlah sholat lima kali sehari, berpuasalah di Bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dan harta kekayaan kamu dan kerjakanlah ibadah haji sekiranya mampu. Ketahuilah bahwa setiap Muslim adalah saudara kepada Muslim yang lain. Kamu semua adalah sama; tidak ada seorangpun yang lebih mulia dari yang lainnya kecuali dalam taqwa dan amal sholeh. Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Allah pada suatu hari untuk dipertanggungjawabkan atas segala apa yang telah kamu lakukan. Oleh karena itu, awasilah tindak-tanduk kamu agar jangan sekali-kali kamu keluar dari landasan kebenaran selepas ketiadaanku. Wahai manusia, tidak ada lagi Nabi atau Rasul yang akan datang selepasku dan tidak akan lahir agama baru. Oleh karena itu wahai manusia, nilailah dengan betul dan fahamilah kata-kataku yang telah disampaikan kepada kamu. Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kamu dua perkara yang sekiranya kamu berpegang teguh dan mengikuti kedua-duanya niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah Al-Quran dan Sunnahku. Hendaklah orang-orang yang mendengar ucapanku ini menyampaikannya pula kepada orang lain dan hendaklah orang yang lain itu menyampaikannya pula kepada orang lain dan begitu seterusnya. Semoga orang yang terakhir yang menerimanya lebih memahami kata-kataku ini dari mereka yang mendengar terus dariku. Saksikanlah Ya Allah, bahwasanya aku telah sampaikan risalah-Mu kepada hamba-hamba- Mu. "
Sabtu, 26 Juni 2010
Kisah Keajaiban Doa Ummu Dawud
Kisah ini diceritakan oleh Ibrahim bin Ubaidillah bin Fadhel bin Ula’ Al-Madani. Ummu Dawud adalah Fatimah puteri Abdillah bin Ibrahim, saat itu usianya sangat tua. Ummu Dawud berkata: Abu Ad-Dawaniq telah membunuh Abdullah bin Hasan, yang sebelumnya ia juga membunuh kedua putera Abdullah yaitu Muhammad dan Ibrahim. Kemudian ia menangkap anakku Dawud bin Al-Husein di Madinah, bersama anak pamannya Al-Husein. Ia mengikatnya dengan rantai besi, lalu membawanya ke Irak. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi melihat anakku dan tidak pernah mendengar beritanya, ia dipenjara di Irak. Aku sangat sedih, aku hanya bisa memohon kepada Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Aku memohon kepada Allah swt agar anakku segera dibebaskan dari penjara. Aku juga minta tolong kepada saudara-saudaraku yang zuhud dan ahli ibadah untuk memohonkan kepada Allah agar aku segera dipertemukan dengan anakku sebelum kematian menjemputku. Mereka telah berusaha dengan sungguh-sungguh melakukan harapanku. Beberapa hari berikutnya aku mendengar berita bahwa anakku dibunuh. Sebagian orang memberitakan bahwa anakku dan anak pamannya akan digantung tiang gantungan. Aku sangat sedih, semakin hari semakin kurasakan besar musibahku. Aku merasa bahwa doaku tidak diijabah dan permohonanku tidak diperkenankan. Hatiku terasa sempit, umurku semakin tua, tulangku semakin ringkih, hampir-hampir aku merasa putus asa karena anakku, lemahnya tubuhku dan menuanya umurku. Pada suatu hari aku mendatangi Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq (sa). Saat itu beliau sedang sakit. Setelah bertanya keadaannya dan mendoakannya, aku minta izin untuk pulang. Saat aku mau pulang beliau bertanya: “Wahai Ummu Dawud, bagaimana berita tentang Dawud, engkau telah menyusuiku bersamanya.” Maksudnya beliau saudara sesusu dengannya. Mendengar pertanyaan dan pernyataannya aku menangis sambil berkata: Jadikan aku tebusanmu, Dawud dipenjara di Irak. Sejak itu aku tidak mendengar lagi beritanya, aku hampir putus asa. Aku ingin sekali berjumpa dengannya. Aku sangat merindukannya. Aku mohon engkau mendoakannya karena dia adalah saudaramu yang sesusu. Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: Wahai Ummu Dawud, tahukah kamu tentang doa Istiftah, doa mustajabah, doa keselamatan. Dengan doa ini Allah Azza wa Jalla membukan pintu-pintu langit, para malaikat akan hadir untuk menyampaikan kabar gembira tentang ijabahnya doa. Inilah doa yang mustajabah, doa yang tak ada hijab dengan Allah azza wa jalla, orang yang membacanya akan mendapatkan pahala surga. Fatimah (Ummu Dawud) bertanya: Wahai putera orang-orang suci, bagaimana cara aku mengamalkannya? Beliau berkata: Wahai Ummu Dawud, sebentar lagi kita akan memasuki bulan yang mulia yaitu bulan Rajab, bulan yang penuh berkah, bulan yang besar kemuliaannya, di dalamnya doa didengar oleh Allah swt. Berpuasalah selama tiga hari di dalamnya, hari ke 13, 14, dan 15; inilah hari-hari biydh (purnama). Kemudian lakukan mandi sunnah pada hari Nishfu ketika matahari tergelincir; lalu lakukan shalat sunnah Zawal delapan rakaat (setiap dua rakaat salam) secara khusuk, sempurnakan rukuk dan sujudnya serta qunutnya. Pada rakaat pertama sesudah Fatihah membaca surat Al-Kafirun, rakaat kedua sesudah Fatihah membaca surat Al-Ikhlash (6 kali), pada rakaat berikutnya baca surat-surat pendek sesuai dengan yang kamu kehendaki. Selanjutnya lakukan shalat Zuhur, kemudian lakukan lagi shalat sunnah delapan rakaat, sempurnakan rukuk dan sujudnya serta qunutnya. Lakukan shalat ini di rumah yang bersih dan tempat yang bersih, pakailah wangi-wangian, karena para malaikat menyukainya.Usahakan tidak ada seorangpun memasukinya dan ngajak bicara denganmu, atau sisa waktunya isi dengan zikir dan amalan sunnah. Jika perlu catatlah amalan dan doa ini. Sesudah membaca doa ini, sujudlah sambil membaca doa: Allahumma laka sajadtu ..(selengkapnya doa ini ada di bagian akhir doa Ummu Dawud). Usahakan matamu ikut bertasbih dengan tetesan air matamu. Karena hal itu menjadi tanda ijabahnya doa, terbukanya hati dan tercurahnya ibrah (pelajaran). Jagalah baik-baik apa yang telah aku ajarkan padamu, hati-hati jangan sampai jatuh pada tangan orang lain yang akan memanfaat doa ini untuk tujuan yang tidak benar. Karena doa ini adalah doa yang mulia, di dalamnya terdapat nama yang paling agung, yang jika berdoa dengannya, Allah akan mengijabah doanya dan memberi apa yang dimohonnya sekalipun langit dan bumi telah melebur, semua lautan telah menyatu dengan yang lain. Semuanya akan berada di antara kamu dan hajatmu. Dengan doa ini Allah azza wa jalla akan memberi kemudahan padamu untuk mencapai apa yang kamu inginkan, memberimu apa yang kamu harapkan, menunaikan hajatmu, dan menyampaikan kamu apa keinginanmu. Siapa saja, laki maupun perempuan, yang berdoa dengan doa ini ia akan diijabah doanya oleh Allah swt. Sekiranya semua jin dan manusia memusuhi anakmu, niscaya Allah melindungimu dari bahaya mereka, menjagamu dari kejahatan lisan mereka, dan menghinakan kuduk mereka, insya Allah. Ummu Dawud berkata: Setelah aku mencatatnya aku pulang ke rumah. Ketika memasuki bulan Rajab, aku menunggu hari-hari itu. Aku berpuasa dan berdoa sebagaimana yang beliau perintahkan padaku. Sesudah melakukan shalat Maghrib dan Isya’, dan sesudah berbuka puasa, aku melakukan shalat-shalat sunnah sehingga larut malam. Lalu aku tidur. Dalam tidurku aku mimpi bershalawat kepada para malaikat, para nabi, para syuhada’, para abdal dan hamba-hamba Allah yang shaleh, dan aku bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw. Dalam mimpiku beliau berkata padaku: “Wahai puteriku, wahai Ummu Dawud, berbahagialah! Semua yang kamu inginkan agar saudara-saudaramu menjadi penolongmu dan pemberi syafaat untukmu, permohonan ampunan bagimu, semuanya membahagiakanmu, hajatmu telah tercapai. Berbahagialah dengan ampunan Allah dan ridha-Nya, kamu telah dibalas dengan kebaikan. Berbahagialah! Allah telah menjaga anakmu dan akan mengembalikannya padamu, insya Allah.” Kemudian aku terbangun dari tidurku. Demi Allah, tidak lama kemudian nampaklah dari kejauhan seorang pengendara yang berlari kencang dari arah Irak. Setelah mendekat padaku ternyata dia adalah anakku Dawud. Ia berkata padaku: Wahai ibuku, aku dipenjara di Irak dalam ruangan penjara yang sangat sempit. Aku tak punya harapan untuk dilepaskan dari penjara. Ketika tidur di malam nishfu Rajab aku bermimpi, melihat dunia merendah padaku sehingga aku melihatmu sedang melakukan shalat di sajadahmu dikelilingi oleh para tokoh, kepala mereka di langit dan kaki mereka di bumi. Mereka berpakaian warna hijau, mereka bertasbih di sekitarmu. Salah seorang dari mereka berwajah tampan seperti indahnya wajah Nabi saw, pakaiannya bersih, baunya harum, ucapannya lembut, beliau berkata padaku: Wahai putera seorang ibu yang sudah tua dan shalehah, berbahagialah! Doa ibumu telah diijabah oleh Allah azza wa jalla. Lalu aku terbangun. Tak lama kemudian di malam itu juga seorang utusan Abu Ad-Dawaniq mendatangiku, ia memerintahkan agar melepaskan rantai besiku, ia bersikap baik padaku, ia juga memerintahkan agar memberiku uang sepuluh ribu dirham, dan mengantarkan aku pada seorang yang mulia dan mempercepat perjalanannya. Sehingga sampailah aku di Madinah. Ummu Dawud berkata: Aku segera membawa anakku ke rumah Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq (sa). Setelah kuucapkan salam padanya aku ceriterakan tentang anakku. Kemudian beliau berkata: “Abu Ad-Dawaniq bermimpi Ali bin Abi Thalib (sa) berkata padanya: ‘Lepaskan cucuku; jika tidak, kamu akan dicampakkan ke neraka’. Dalam mimpinya ia melihat seakan di bawah kaki ada bara api, lalu ia terbangun dan terjatuh. Karena itulah ia membebaskanmu dari penjara.” (Fadhail Al-Asyhur Ats-Tsalatsah: 33-36) Wassalam Syamsuri Rifai
Kamis, 24 Juni 2010
" Wanita Direndahkan dalam ajaran Islam"
Tidak sengaja ngobrol dengan teman wanita di kantor, dia aktifis LSM pembela hak wanita ( katanya sih he he he...) kemudian dia mempertanyakan kewajiban wanita muslimah yang menurut dia memojokan dan merendahkan wanita...diantaranya: (banyak sih tapi yang jadi isu utama ini aja dulu ya...) 1. Seorang wanita wajib menurut pada suaminya, sementara lelaki tidak wajib menurut pada istrinya. 2. Kesempatan wanita untuk melakukan ibadah dibatasi, tidak seperti lelaki bisa beribadah kapan saja. 3. Warisan untuk laki laki lebih besar jumlahnya dari wanita. padahal jika kita melihat dengan ilmu, maka sebetulnya adalah: 1.Seorang lelaki punya kewajiban harus menurut pada ibunya tiga kali lebih utama ketimbang bapaknya. kemudian di akhirat kelak, seorang lelaki akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap empat wanita yaitu : Istrinya, ibunya, anak perempuannya dan saudara perempuannya. Artinya seorang wanita tanggung jawab terhadapnya sudah ditanggung oleh empat orang lelaki, yaitu : suaminya, ayahnya, anak lelakinya dan saudara lelakinya...enak kan? 2. Masalah ibadah, wanita diperbolehkan memasuki pintu surga melalui pintu yang mana saja yang disukainya, asal mengerjakan empat syarat saja, yaitu : 1.shalat 5 waktu, 2.puasa di bulan Ramadhan, 3.taat kepada suaminya 4.menjaga kehormatannya. Sedangkan Laki-laki harus melakukan dulu amalan sesuai pintu surga itu...(beberapa pintu surga diantaranya: pintu sholat, pintu shaum, pintu jihad dll) Lelaki wajib pergi berjihad fisabilillah, sementara wanita jika taat pada suaminya, dan menunaikan tanggung jawabnya kepada ALLAH, maka wanita akan menerima pahala yang sama dengan para lelaki yang pergi berjihad fisabilillah. tanpa harus mengangkat senjata... 3. Warisan untuk anak lelaki jumlahnya 2 bagian sementara wanita 1 bagian, tetapi warisan untuk wanita adalah untuk dirinya sendiri alias TIDAK WAJIB berbagi sekalipun dengan suaminya, tetapi warisan untuk lelaki WAJIB di berikan sebagai bagian dari pemberian nafkah pada istri dan anaknya. bahasa modernnya uang suami adalah uang istri tapi uang istri ya untuk istri lah...bagian mana yang tidak adil? Bersambung Subhanallah...ternyata Allah tuh sayaaaangggg banget sama Wanita ya...
Rabu, 23 Juni 2010
Senin, 21 Juni 2010
Rabu, 16 Juni 2010
Senin, 31 Mei 2010
Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi lebih beberapa menit saat keponakan saya yang masih duduk di bangku SD kelas dua tiba dari sekolah dengan sepedanya. Masih dari jalan depan rumah, ia sudah berteriak lantang kepada ibunya—Bibi saya, meminta uang dua ribu rupiah. Ya, hanya dua ribu rupiah memang. Tetapi untuk anak kecil seusianya yang tinggal di sebuah desa kecil, uang sejumlah itu nilainya sudah cukup besar. Tak kalah lantang, ibunya menimpali permintaan itu dengan emosional. Saya yakin, jika ada di rumahnya, tetangga kanan kiri rumah akan mendengar dengan sangat jelas suara Bibi saya itu. Sebenarnya pertanyaan standar saja; ia menanyakan untuk apa uang sejumlah itu? Hanya saja, pertanyaan standar itu terdengar seolah menjadi sebuah “kemurkaan” di telinga keponakan saya karena intonasi suaranya yang sangat tinggi. Bibi saya juga langsung ber-su’uzhan, bahwa uang sejumlah itu akan dibelikannya mainan karena hari itu ada seorang warga yang sedang hajatan mengadakan hiburan Orgen, yang tentu saja akan banyak orang berjualan di sana. Tanpa memberinya kesempatan berdialog untuk mengutarakan alasannya meminta uang sejumlah itu dengan bahasa cinta seorang ibu. Bisa ditebak, keponakan saya langsung mengeluarkan jurus pamungkasnya: menangis seketika. Masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang belum sempat dilepasnya. Cukup lama ia menangis. Di sela tangisannya, di antaranya ia menyebut-nyebut uang miliknya dari pemberian para famili yang “diminta” (baca: disimpan) oleh ibunya. Bibi saya yang tidak sabaran dan cenderung emosional, mendengar anaknya menyebut-nyebut uang miliknya yang “diminta” olehnya, menanggapinya juga dengan kurang bijak. Ia langsung membuka lemari tempat di mana uang itu disimpan dan diberikannya uang itu semuanya kepada keponakan saya. Habiskan saja semua uang itu, kata Bibi saya masih dengan emosinya pada anaknya yang masih menagis tersedu-sedu di depannya. Begitulah bahasa cinta yang dimiliki Bibi saya pada anak semata wayangnya. Sekarang, izinkan saya bercerita kepada Anda, jika seandainya kejadian serupa saya alami beberapa tahun yang akan datang. Ya, karena bukan tak mungkin saya juga akan merasakan menjadi orang tua seperti Bibi saya, iya kan? “Mamaa…! Aku minta uang dua puluh ribu!!” Teriak Ahmad lantang masih dari pinggir jalan depan rumah sepulang sekolah dengan sepeda mininya yang dicat warna hijau muda. Anak semata wayangku itu masih duduk di bangku SD kelas dua. Aku tersenyum lebar mendengar teriakannya. Sambil membukakan pintu samping rumah mungil kami, aku menyapanya dengan wajah matahari sepenggalah. “Assalaamu ’alaikum! Wah, jagoan Mama sudah pulang ya?” Ahmad turun dari sepedanya dan menuntunnya ke arahku. Walau tampak cuek, akhirnya ia malu-malu menjawab salamku. Ya, aku memang selalu mengingatkannya untuk mengucapkan salam salam setiap akan masuk ke rumah. Tapi tadi mungkin ia lupa. Aku bisa memakluminya. Sembari Ahmad melepas sepatunya, aku mengambil segelas air putih untuknya dengan mug bergambar lucu kesayangannya. Kemudian aku lap keringat dingin yang membanjir di dahi dan mukanya. “Stop! Cuci tangan dulu, Sayang…, ” cegahku ketika tangan Ahmad akan menyerobot mug berisi air putih di depannya. Lagi, meski kelihatan enggan ia menuruti kata-kataku. Ia menuju tempat air untuk mencuci tangannya. Setelah menghabiskan minumnya, aku mengajak Ahmad ke “ruang santai” rumah kami yang sekaligus menjadi ruang belajar, ruang kerja, dan perpustakaan mini keluarga. Tempat di mana sebuah PC dan printer, beberapa rak berisi koran, majalah, jurnal ilmiah, ensiklopedi, kamus aneka bahasa, Al-Quran dan buku-buku fiksi dan nonfiksi, sebuah whiteboard ukuran sedang, serta beberapa alat permainan kreatif milik Ahmad berada. Di sana, sambil mengganti seragam sekolahnya, Ahmad mulai bercerita tentang aktivitasnya di sekolah tadi. Aku mendengarkannya antusias sambil memeriksa buku-buku catatan sekolahnya. Wah, pagi ini Ahmad mendapat nilai 10 untuk Matematika, 9 untuk Bahasa, dan 7.5 untuk Menggambar. Tak mau kehilangan momen baik, aku pun memberikan ucapan selamat untuknya dan lebih memotivasinya agar menjadikan belajar dan sekolah sebagai salah satu bentuk ibadah dan bukan semata untuk mendapatkan nilai bagus saja, di antara kalimat-kalimat yang meluncur deras dari bibirnya. Juga mengingatkannya lagi agar pada saat waktu belajar tiba tidak harus selalu diingatkan oleh kami, orang tuanya. Hingga sampailah Ahmad pada cerita itu…. “Mama….” Ahmad tampak sungkan melanjutkan kalimatnya. Aku menatap mata beningnya dengan cinta. Memintanya untuk tak sungkan bercerita apa adanya tanpa harus dengan berkata-kata. Aku menganggukan kepalaku dan tersenyum lebar untuknya. “Mama, ee….” Ia masih ragu. “Ingat tidak apa kata Rosul? Orang jujur disayang…?” Disayang Allah! Aku yakin sekali Ahmad menjawabnya begitu, meski ia tidak mengucapkannya. “Tadi di sekolah, Farhan membawa VCD cerita Nabi Musa. Aku sih hanya lihat cover-nya saja. Tapi kata Farhan yang sudah menontonnya, ceritanya bagus banget lho, Ma….” Akhirnya, tanpa diminta Ahmad bercerita tuntas tentang alasannya meminta uang dua puluh ribu rupiah tadi. Sedetil-detilnya dengan penuh harapan aku akan mengabulkan permintaannya. Setelah mempertimbangkan dengan matang dan penuh perhitungan, aku menjawab rengekannya. “Iya, Mama bisa memahaminya. Coba nanti Ahmad bilang sendiri sama Papa ya? Insya Allah Mama dukung deh. Tapi….” “Tapi kenapa, Ma?” “Ada syaratnya. Kalau Papa mengabulkannya, Ahmad harus hafal surat Al-Insyiroh. Oke?” Begitulah bahasa cinta yang ingin saya ajarkan kepada anak-anak saya kelak. Oh ya, jangan lupa doakan saya semoga bisa menjadi orang tua yang sabar, bijak, dan mendidik buah hati saya dengan cinta suatu hari nanti. Insya Allah. Oleh Setta SS
berbagi.................
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash –semoga Allah meridoinya- dia mengatakan, “Kami (berkumpul) berenam bersama Rasulullah saw., maka berkatalah orang-orang musyrik kepada beliau, ‘Usirlah mereka agar mereka tidak berani-berani kepada kami.’ Dan aku saat itu bersama Ibnu Mas’ud, dua orang dari (kabilah) Hudzail, Bilal, dan dua orang lagi tidak kuhafal namanya. Maka terjadilah pada hati Rasulullah apa yang Allah kehendaki terjadi (yakni hampir terpengaruh untuk mengikuti keinginan orang kafir itu, pen.) lalu ia berbicara pada dirinya. Maka Allah swt. menurunkan: ‘Dan janganlah kalian mengusir orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari dengan mengharapkan wajah Allah’ (Al-An’am 52).” (Hadits Shahih riwayat Muslim) Hadits di atas mengarahkan kita agar menjadikan nilai-nilai ilahiyyah sebagai standar untuk menentukan pilihan: apakah kita mendekat atau mengambil jarak dengan seseorang atau suatu komunitas. Nilai-nilai material duniawi sama sekali tidak boleh menjadi parameter dalam hal itu. Dan untuk itulah Rasulullah saw. diingatkan oleh Allah swt. Sayyid Quthb mengemukakan, “Inti persoalannya bukanlah sekedar bagaimana seharusnya seorang manusia diperlakukan atau bagaimana seharusnya sekelompok manusia diperlakukan. Dimensinya lebih jauh dan lebih agung dari sekedar itu. Inti persoalannya adalah: bagaimana seharusnya manusia menimbang segala urusan dalam kehidupan ini? Dari mana manusia mengambil nilai-nilai untuk dijadikan parameter? Dan arahan rabbani dalam ayat itu menegaskan bahwa hendaknya manusia di muka bumi mengambil nilai-nilai dan parameter dari pandangan Allah saja, yang datang kepada mereka dari langit, tidak terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan rendahan bumi. Nilai-nilai yang bukan muncul dari pandangan-pandangan yang terikat dengan kepentingan bumi.” (Fi Zhilalil-Quran, juz 6: 3825) Rasulullah saw. juga pernah ditegur Allah swt. karena mengabaikan orang kecil, buta pula, yang ingin meningkatkan pemahaman tentang Islam dan mengamalkannya. Orang itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Sehingga karena begitu terkesannya Rasulullah saw. oleh perinstiwa tersebut, jika bertemu dengannya, beliau sering kali mengucapkan kalimat, “Selamat datang orang yang karenanya Allah menegurku.” Ya, wajar bila kalimat itu sering dilontarkan oleh Rasulullah saw. kepada Ibnu Ummi Maktum, sebagai pernghormatan terhadapnya. Memang karena Ibnu Ummi Maktum itulah Allah swt. Menurunkan ayat: “Ia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang kepadanya orang yang buta. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya. Ada pun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri. Dan ada pun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). Sedang ia takut kepada Allah, maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali janganlah demikian! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.” (‘Abasa 1-11) Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Saat itu Rasulullah saw. ingin Ibnu Ummi Maktum itu diam agar memberinya waktu berbicara kepada orang-orang itu sebab Rasulullah sangat terobsesi untuk menarik mereka ke dalam Islam.” (Tafsir Ibnu Katsir juz IV: 471) Da’i memang sangat berpeluang tergoda untuk hanya suka merapat kepada orang-orang ‘gede’. Baik dari sisi pengaruh, jabatan, kekuasaan, kekayaan, atau dalam sisi lainnya. Sangat boleh jadi ada pembenaran yang tampak logis untuk pilihan itu. Seperti pembenaran yang juga dimiliki Rasulullah saw.: jika kepalanya terpegang, maka ekornya pasti akan ikut. Akan tetapi jangan lupakan hal-hal berikut: Pertama, dakwah adalah proyek penyebaran hidayah Allah untuk penyelamatan diri dan manusia dari kehancuran dan adzab Allah. Karenanya, dakwah adalah proyek penyelamatan manusia orang per orang. Kedua, dakwah itu milik semua orang dalam segala lapisan dengan tidak membeda-bedakan status sosial dan kedudukannya. Apalagi Rasulullah saw. memang diutus untuk seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-Nya: “Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia.” (Saba: 28). Ketiga, orang-orang yang mempunyai pengaruh biasanya memiliki kepentingan lebih banyak dan besar daripada orang-orang kecil. Karenanya, akan banyak gangguan untuk memiliki ketulusan dalam menerima Islam. Lebih-lebih kalau kemudian dia akan kehilangan segala posisi bila masuk Islam atau masuk dalam barisan dakwah. Makanya Allah menggambarkan orang-orang semacam itu dengan “manistaghna” (orang yang merasa berkecukupan), orang yang merasa mempunyai cukup kekuatan untuk mengeksploitasi manusia baik dalam bentuk harta, kekuasaan, kekuatan, pendukung dan sebagainya. Rasulullah saw. pernah diingatkan Allah swt. saat hampir terpedaya dengan jebakan itu: “Jika saja tidak kami teguhkan (hati) engkau niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan timpakan (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula sikaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (Al-Isra: 74) Keempat, memang orang-orang berpengaruh besar yang mendapat hidayah Allah dan kemudian menjadi pembela Islam tidak sedikit. Namun harus diingat bahwa segala upaya untuk itu jangan sampai mengabaikan orang-orang yang jelas-jelas ingin membersihkan diri dan secara tulus ingin menjadi Muslim yang baik. Sejarah perjuangan para nabi dan para dai membuktikan bahwa pendukung pertama dakwah adalah wong cilik. Allah swt. menggambarkan: “Mereka (orang-orang kafir) mengatakan, ‘Haruskan kami mengikuti kamu padahal yang mengikuti kamu adalah orang-orang hina’.” (Asy-syu’ara: 111) “Maka berkatalah para elit orang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja’.” (Hud: 27) Secara umum, orang kecil –karena mereka tidak punya banyak kepentingan, selain hidup sejahtera– cenderung lebih mudah menerima dakwah. Di samping itu mereka sering menjadi sasaran kezaliman para elit tersebut. Dan mereka mendapatkan kemerdekaan dan penghormatan hanya manakala mereka berada dalam pangkuang Islam dan dakwah. Oleh karenanya, hanya tertarik berdakwah kepada orang-orang ‘besar’ dan mengabaikan dakwah terhadap orang-orang ‘kecil’ adalah tindakan sangat rendah dan hina. Baik kecil dalam pengertian status sosial dan kepemilikan harta maupun kecil dalam pengertian jumlahnya sangat sedikit dan bukan perkumpulan massal. Dan lebih nista lagi, bila seorang dai lebih tertarik melayani dakwah di tengah orang-orang gedean itu karena ‘penghargaannya’ (maksudnya harga bayarannya) lebih besar. Allah swt berfirman, “Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka terbebani dengan hutang.” (Ath-Thur: 40 & Al-Qalam: 46) Jadi, bila ada orang atau masyarakat kecil yang benar-benar ingin melakukan pembersihan jiwa terabaikan hanya gara-gara mereka tidak dapat memberikan ‘penghargaan’ yang memadai, maka para dai akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah swt. Allahu a’lam. Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/merapat-kepada-orang-kecil/
jujur,............
Mana yang lebih mahal, sepercik kejujuran ataukah sebongkah cinta ? "Sesungguhnya sepercik kejujuran lebih berharga dari sebongkah cinta. Apa arti sebongkah cinta kalau dibangun diatas kebohongan ? Pasti rapuh bukan ? Betapa indahnya apabila kejujuran dan cinta ada pada diri seseorang. Beruntunglah Anda yang memiliki kejujuran dan ketulus...an cinta".......................... Belajar mencintai..perlu kekuatan. Belajar jujur..ekstra kekuatan dan kesabaran. Tapi bila belajar jujur karena mencintai...akan terasa mudah. Hmm....walau kadang kejujuran itu pahit, tapiiii..bikin plong:), karena cinta jadi mesti jujur, klo gak jujur itu gak cinta!.by, Ustadz Aam Amiruddin
Sabtu, 29 Mei 2010
Kisah Menjadi Kaya karena Menikah
Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?” Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak jelas.
Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...”. Kata-kata suamiku -ketika masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar saja?” sambutku heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas.” Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?
***
Hari-hari pertama kami pindahan.
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada suami yang tengah berbenah. “Udah, itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?” tanyaku lebih lanjut. “Iya, banyak kan?” tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku. Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk belanja pakaian. Oo!
Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari. Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!
Baru sebulan menikah.
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?”
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah saranaku mengerjakan amanah di organisasi.” Si mas pun mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.
Masih bulan awal perkawinan kami.
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.
Belum lagi tiga bulan menikah.
“Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional. “Oke, tapi buat daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan berkata,”Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?” Aku mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?
Masih tiga bulan pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?” Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
“Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan lantas menjadi pelit!
Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas menengah (meski masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.
Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.
Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...
Catatan Yusuf Mansyur Network
Jumat, 28 Mei 2010
Kewajiban Membentuk Rumah Tangga Islam
Islam agama yang diturunkan Allah swt. kepada manusia untuk menata seluruh dimensi kehidupan mereka. Setiap ajaran yang digariskan agama ini tidak ada yang berseberangan dengan fitrah manusia. Unsur hati, akal, dan jasad yang terdapat dalam diri manusia senantiasa mendapatkan “khithab ilahi” (arahan Allah) secara proporsional.
Oleh karenanya, Islam melarang umatnya hidup membujang laiknya para pendeta. Hidup hanya untuk memuaskan dimensi jiwa saja dan meninggalkan proyek berkeluarga dengan anggapan bahwa berkeluarga akan menjadi penghalang dalam mencapai kepuasan batin. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan fitrah manusia yang berkaitan dengan unsur biologis.
Berkeluarga dalam Islam merupakan sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk (kecuali malaikat), baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan ditekankan dalam ajaran Islam bahwa nikah adalah sunnah Rasulullah saw. yang harus diikuti oleh umat ini. Nikah dalam Islam menjadi sarana penyaluran insting dan libido yang dibenarkan dalam bingkai ilahi. Agar kita termasuk dalam barisan umat ini dan menjadi manusia yang memenuhi hak kemanusiaan, maka tidak ada kata lain kecuali harus mengikuti Sunnah Rasul, yaitu nikah secara syar’i. Meskipun ada sebagian Ulama yang sampai wafatnya tidak sempat berkeluarga. Dan ini bukan merupakan dalih untuk melegalkan membujang seumur hidup. Adapun hukumnya sendiri –menurut ulama– bertingkat sesuai faktor yang menyertainya. Coba perhatikan beberapa nash di bawah ini:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِى مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِى حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى » . تحفة 745 – 2/7 ، رواه البخاري
Sa’idbin Abu Maryam menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far mengabarkan kepada kami, Humaid bin Abu Humaid At-Thawil bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik r.a. berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi saw. menanyakan ibadah Nabi saw. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan tidak berarti (sangat sedikit). Mereka berkata: “Di mana posisi kami dari Nabi saw., padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.” Salah satu mereka berkata: “Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.” Yang lain berkata: “Akan akan puasa selamanya.” Dan yang lain berkata: “Aku akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah menikah.” Lalu datanglah Rasulullah saw. seraya bersabda: “Kalian yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (Al-Bukhari)
Ada beberapa faktor yang mendasari urgensinya pembentukan keluarga dalam Islam sebagaimana berikut:
1. Perintah Allah swt.
Membentuk dan membangun mahligai keluarga merupakan perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya. Agar teralisasi kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar manusia berjalan selaras dengan fitrahnya. Kata “keluarga” banyak kita temukan dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam beberapa ayat berikut ini;
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara’: 214)
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
2. Membangun Mas’uliah Dalam Diri Seorang Muslim.
Sebelum seorang berkeluarga, seluruh aktivitasnya hidupnya hanya fokus kepada perbaikan dirinya. Mas’uliah (tanggung jawab) terbesar terpusat pada ucapan, perbuatan, dan tindakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Dan setelah membangun mahligai keluarga, ia tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya saja. Akan tetapi ia juga harus bertanggungjawab terhadap keluarganya. Bagaimana mendidik dan memperbaiki istrinya agar menjadi wanita yang shalehah. Wanita yang memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya. Bagaimana mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani nan qurani. Coba kita perhatikan beberapa hadits berikut ini:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ قَتادَةَ عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَهُ حَتىَّ يُسْأَلَ الرَّجُلُ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ غَرِيْبٌ مِنْ حَدِيْثِ قَتادةَ لَمْ يَرْوِهِ إِلَّا مُعاذُ عَنْ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga kepemimpinannya atau melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.” (Hadits gharib dalam Hilayatul Auliya, 9/235, diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisaa’, hadits no 292 dan Ibnu Hibban dari Anas dalam Shahihul Jami’, no.1775; As-Silsilah Ash-Shahihah no.1636).
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- :« خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى ».
Dari Aisyah r.a., berkata: “Nabi saw. bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik pada kelurganya dan aku paling baik bagi keluargaku.” (Imam Al-Baihaqi)
وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( أكْمَلُ المُؤمِنِينَ إيمَاناً أحْسَنُهُمْ خُلُقاً ، وخِيَارُكُمْ خياركم لِنِسَائِهِمْ )) رواه الترمذي ،
Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (Imam At-Tirmidzi, dan ia berkata: “Hadits hasan shahih.”
3. Langkah Penting Membangun Masyarakat Muslim
Keluarga muslim merupakan bata atau institusi terkecil dari masyarakat muslim. Seorang muslim yang membangun dan membentuk keluarga, berarti ia telah mengawali langkah penting untuk berpartisipasi membangun masyarakat muslim. Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
عَن أنسٍ رضي الله عنه قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِالْبَاءَةِ ، وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا ، وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ .فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ } رَوَاهُ أَحْمَدُ ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ .وَلَهُ شَاهِدٌ عِنْدَ أَبِي دَاوُد ، وَالنَّسَائِيُّ ، وَابْنِ حِبَّانَ مِنْ حَدِيثِ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ
Dari Anas r.a. berkata: “Rasulullah saw. memerintahkan kami dengan “ba-ah” (mencari persiapan nikah) dan melarang membunjang dengan larangan yang sesungguhnya seraya bersabda: “Nikaihi wanita yang banyak anak dan yang banyak kasih sayang. Karena aku akan berlomba dengan jumlah kamu terhadap para nabi pada hari kiamat.” (Imam Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban. Memiliki “syahid” pada riwayat Abu Dawud, An-Nasaai dan Ibnu Hibban dari hadits Ma’qil bin Yasaar)
4. Mewujudkan Keseimbangan Hidup
Orang yang membujang masih belum menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila ia terus membujang, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya, kegersangan jiwa, dan keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam hidupnya, Islam memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul, yaitu membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ الْبَاقِى. رَوَاهُ الْبَيْهَقِي
Dari Anas bin Malik r.a. berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang menikah maka ia telah menyempurnakan setengah agama. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam setengahnya.” (Imam Al-Baihaqi)
Menikah juga bisa menjaga keseimbangan emosi, ketenangan pikiran, dan kenyamanan hati. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ».رواه مسلم
Dari Abdullah berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barangsiapa dari kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandangan dan memelihara farji (kemaluan). Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu merupakan benteng baginya. (Imam Muslim)
Semoga kita dimudahkan Allah untuk melaksanakan sunnah ini. Amin
Oleh karenanya, Islam melarang umatnya hidup membujang laiknya para pendeta. Hidup hanya untuk memuaskan dimensi jiwa saja dan meninggalkan proyek berkeluarga dengan anggapan bahwa berkeluarga akan menjadi penghalang dalam mencapai kepuasan batin. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan fitrah manusia yang berkaitan dengan unsur biologis.
Berkeluarga dalam Islam merupakan sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk (kecuali malaikat), baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan ditekankan dalam ajaran Islam bahwa nikah adalah sunnah Rasulullah saw. yang harus diikuti oleh umat ini. Nikah dalam Islam menjadi sarana penyaluran insting dan libido yang dibenarkan dalam bingkai ilahi. Agar kita termasuk dalam barisan umat ini dan menjadi manusia yang memenuhi hak kemanusiaan, maka tidak ada kata lain kecuali harus mengikuti Sunnah Rasul, yaitu nikah secara syar’i. Meskipun ada sebagian Ulama yang sampai wafatnya tidak sempat berkeluarga. Dan ini bukan merupakan dalih untuk melegalkan membujang seumur hidup. Adapun hukumnya sendiri –menurut ulama– bertingkat sesuai faktor yang menyertainya. Coba perhatikan beberapa nash di bawah ini:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِى مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِى حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى » . تحفة 745 – 2/7 ، رواه البخاري
Sa’idbin Abu Maryam menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far mengabarkan kepada kami, Humaid bin Abu Humaid At-Thawil bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik r.a. berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi saw. menanyakan ibadah Nabi saw. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan tidak berarti (sangat sedikit). Mereka berkata: “Di mana posisi kami dari Nabi saw., padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.” Salah satu mereka berkata: “Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.” Yang lain berkata: “Akan akan puasa selamanya.” Dan yang lain berkata: “Aku akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah menikah.” Lalu datanglah Rasulullah saw. seraya bersabda: “Kalian yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (Al-Bukhari)
Ada beberapa faktor yang mendasari urgensinya pembentukan keluarga dalam Islam sebagaimana berikut:
1. Perintah Allah swt.
Membentuk dan membangun mahligai keluarga merupakan perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya. Agar teralisasi kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar manusia berjalan selaras dengan fitrahnya. Kata “keluarga” banyak kita temukan dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam beberapa ayat berikut ini;
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara’: 214)
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
2. Membangun Mas’uliah Dalam Diri Seorang Muslim.
Sebelum seorang berkeluarga, seluruh aktivitasnya hidupnya hanya fokus kepada perbaikan dirinya. Mas’uliah (tanggung jawab) terbesar terpusat pada ucapan, perbuatan, dan tindakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Dan setelah membangun mahligai keluarga, ia tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya saja. Akan tetapi ia juga harus bertanggungjawab terhadap keluarganya. Bagaimana mendidik dan memperbaiki istrinya agar menjadi wanita yang shalehah. Wanita yang memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya. Bagaimana mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani nan qurani. Coba kita perhatikan beberapa hadits berikut ini:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ قَتادَةَ عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَهُ حَتىَّ يُسْأَلَ الرَّجُلُ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ غَرِيْبٌ مِنْ حَدِيْثِ قَتادةَ لَمْ يَرْوِهِ إِلَّا مُعاذُ عَنْ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga kepemimpinannya atau melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.” (Hadits gharib dalam Hilayatul Auliya, 9/235, diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisaa’, hadits no 292 dan Ibnu Hibban dari Anas dalam Shahihul Jami’, no.1775; As-Silsilah Ash-Shahihah no.1636).
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- :« خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى ».
Dari Aisyah r.a., berkata: “Nabi saw. bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik pada kelurganya dan aku paling baik bagi keluargaku.” (Imam Al-Baihaqi)
وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( أكْمَلُ المُؤمِنِينَ إيمَاناً أحْسَنُهُمْ خُلُقاً ، وخِيَارُكُمْ خياركم لِنِسَائِهِمْ )) رواه الترمذي ،
Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (Imam At-Tirmidzi, dan ia berkata: “Hadits hasan shahih.”
3. Langkah Penting Membangun Masyarakat Muslim
Keluarga muslim merupakan bata atau institusi terkecil dari masyarakat muslim. Seorang muslim yang membangun dan membentuk keluarga, berarti ia telah mengawali langkah penting untuk berpartisipasi membangun masyarakat muslim. Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
عَن أنسٍ رضي الله عنه قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِالْبَاءَةِ ، وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا ، وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ .فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ } رَوَاهُ أَحْمَدُ ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ .وَلَهُ شَاهِدٌ عِنْدَ أَبِي دَاوُد ، وَالنَّسَائِيُّ ، وَابْنِ حِبَّانَ مِنْ حَدِيثِ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ
Dari Anas r.a. berkata: “Rasulullah saw. memerintahkan kami dengan “ba-ah” (mencari persiapan nikah) dan melarang membunjang dengan larangan yang sesungguhnya seraya bersabda: “Nikaihi wanita yang banyak anak dan yang banyak kasih sayang. Karena aku akan berlomba dengan jumlah kamu terhadap para nabi pada hari kiamat.” (Imam Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban. Memiliki “syahid” pada riwayat Abu Dawud, An-Nasaai dan Ibnu Hibban dari hadits Ma’qil bin Yasaar)
4. Mewujudkan Keseimbangan Hidup
Orang yang membujang masih belum menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila ia terus membujang, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya, kegersangan jiwa, dan keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam hidupnya, Islam memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul, yaitu membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ الْبَاقِى. رَوَاهُ الْبَيْهَقِي
Dari Anas bin Malik r.a. berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang menikah maka ia telah menyempurnakan setengah agama. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam setengahnya.” (Imam Al-Baihaqi)
Menikah juga bisa menjaga keseimbangan emosi, ketenangan pikiran, dan kenyamanan hati. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ».رواه مسلم
Dari Abdullah berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barangsiapa dari kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandangan dan memelihara farji (kemaluan). Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu merupakan benteng baginya. (Imam Muslim)
Semoga kita dimudahkan Allah untuk melaksanakan sunnah ini. Amin
Tim Dakwatuna.
Awal Goyangnya Bangunan Islam, Prediksi Akhir Jaman
Mengapa dunia begitu kaco ? liatin berbagai berita di media. Hampir semua mengabarkan kekacauan, perselisihan dan kezaliman. Sedemikian merebaknya kekacauan sampai-sampai di kalangan insan media di dunia barat berkembang suatu motto yaitu Bad News Is Good News (berita buruk adalah berita baik). Artinya berita yang mengandung kekacauan diyakini bakal mendatangkan profit bisnis. Bila suatu berita mengandung kebaikan, maka ia dianggap ”tidak menjual” Astaghfirullah..!!
Namun pertanyaan di atas belonan kejawab... Mengapa hal ini terjadi di masa kita sekarang? Saudaraku, tidak perlu kita susah-susah nyariin jawabnya. Silahkan simak pesan Nabi Muhammad saw berikut:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ
تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
(AHMAD - 21139) : Dari Abu Umamah Al Bahili dari Rasulullah Shallallahu'alaihiWasallam
Peradaban modern yang disetir oleh Dunia Barat telah menyebabkan seluruh masyarakat dunia terjebak ke dalam suatu kehidupan yang gak ngakuin eksistensi Allah dan meyakini bahwa hidup ini hanyalah di dunia belaka. Sebagaimana Allah gambarkan mengenai kaum sekularis (orang-orang yang dunia-minded) di dalam Al-Qur’an:
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا
إِلا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلا يَظُنُّونَ
”Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS Al-Jatsiyah ayat 24)
Dari sejarah, kita dapati bahwa sebenarnya selama hampir empat-belas abad dunia berada dalam kebaikan karena dipimpin oleh orang-orang beriman yang senantiasa mengembalikan segenap urusan –baik pribadi maupun publik– kepada hukum Allah dan RasulNya. Para pemimpin tersebut berusaha keras untuk memimbing masyarakat menuju keridhaan Allah dan mengikuti sunnah NabiNya. Memang harus diakui bahwa selama masa itu terkadang ada saja khalifah-khalifah pemimpin ummat yang memiliki karakter bermasalah (baca:fajir), tapi secara formal otoritas kemasyarkatan pada masa itu masih menjunjung tinggi sumber utama rujukan ummat Islam, yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah. Sehingga secara garis besar ummat masih merasakan rahmat dan nikmatnya hidup di bawah naungan hukum Allah. Sehingga selama rentang waktu yang begitu panjang ummat masih menyerahkan ketaatan dan loyalitasnya kepada Ulil Amriminkum (pemegang urusan dari kalangan orang-orang beriman) sebagaimana diperintahkan Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)
Namun semenjak dunia menyaksikan berdirinya berbagai negara berdasarkan konsep kebangsaan dan bukan lagi berlandaskan aqidah tauhid dan ibadah kepada Allah semata, maka mulailah dalam bidang hukum masing-masing nation-states tersebut meninggalkan hukum Allah dan RasulNya lalu berkreatifitas menyusun sendiri hukumnya masing-masing. Ada yang kurang kreatif sehingga begitu saja mengadopsi sistem hukum mantan penjajahnya, seperti Indonesia mengambil perangkat hukum Belanda sebagai hukum nasionalnya. Namun ada juga yang sedikit lebih kreatif dengan mengkombinasikan hukum mantan penjajahnya dengan hukum adat-setempat plus campuran hukum dari Al-Qur’an. Tetapi tidak ada yang secara murni dan konsekuen menjadikan hanya Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah sebagai rujukan tunggal hukum nasionalnya, apalagi dalam tataran aplikasinya.
Inilah salah satu tanda akhir zaman yang di-nubuwwah-kan (diprediksi) oleh Rasulullah saw di dalam hadits riwayat Imam Ahmad di atas. “Sungguh ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai maka manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat."
Jelas sekali Nabi saw ngewanti-wanti bahwa dekadensi penerapan ajaran Islam diawali dengan lepasnya simpul dalam soal hukum. Dewasa ini kita menyaksikan bahwa tidak ada lagi tatanan masyarakat yang masih menerapkan hukum Islam secara murni dan konsekuen. Semua berlomba meninggalkan hukum Allah dan membanggakan hukum produk kelompok manusia masing-masing bangsa. Tanpa kecuali hal ini juga terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Jika masyarakat diajak untuk kembali kepada penerapan syariat Islam atau kembali kepada hukum Allah dan RasulNya, maka kebanyakan orang menolaknya. Padahal sikap penolakan seperti yang mereka tunjukkan hanya pantas dilakukan oleh kaum munafik sebagaimana Allah jelaskan berikut:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ
رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS An-Nisa ayat 61)
Hukum Allah wajib ditegakkan karena hanya dengan menerapkan hukum Al-Qur’an sajalah kebenaran dan keadilan dapat diwujudkan. Banyak orang mengaku membela kebenaran dan keadilan, namun jika ditanya apa yang dia maksud dengan kebenaran dan keadilan, maka ia pasti akan menjawab selain Al-Qur-an. Padahal kebenaran dan keadilan hanya dapat wujud jika kita menegakkan hukum berlandaskan Kitab Allah, yakni Al-Qur’an.
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’aam ayat 115)
Wajarlah bila hukum Al-Qur’an merupakan hukum satu-satunya yang benar dan adil, sebab seluruhnya bersumber dari Allah Yang Maha Benar lagi Maha Adil. Sedangkan hukum manusia merupakan hukum yang pati mengandung cacat dan ketidak-sempurnaan, sebab Allah sendiri menggambarkan manusia sebagai makhluk yang amat zalim lagi amat bodoh. Bagaimana mungkin manusia dengan karakter seperti itu akan sanggup memproduk hukum yang benar apalagi adil? Tidak mengherankan kalau di zaman ini kita temukan bahwa berbagai kezaliman dan perilaku bodoh merebak di tengah kehidupan masyarakat modern.
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ
فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab ayat 72)
Saudaraku, dari terurainya simpul Islam yang paling pertama ini, maka kitapun menyaksikan terurainya berbagai simpul Islam lainnya. Sehingga dewasa ini tidak lagi mengagetkan bila kita mendapati seorang yang mengaku muslim dengan ringannya meninggalkan kewajiban paling asasi, yaitu sholat. Dan jika ini benar, berarti dewasa ini kita sedang menyaksikan realisasi hadits Nabi saw di atas di mana dari ikatan Islam paling awal –yaitu masalah hukum– hingga ikatan Islam paling akhir –yaitu sholat– semua telah terurai.
Saudaraku, marilah kita menjadikan ini sebagai ibrah agar kita memainkan peranan seoptimal mungkin untuk merajut kembali ikatan Islam simpul demi simpul. Dimulai dengan kita menghidupkan sholat wajib berjamaah dan di masjid hingga mengadvokasi wajibnya ummat kembali hanya tunduk kepada hukum Allah dan RasulNya dan meninggalkan hukum zalim lagi tidak cerdas bikinan manusia yang hanya menimbulkan kekacauan, melestarikan kemungkaran dan berfihak kepada kezaliman. Insya Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)