Senin, 31 Mei 2010

BAHASA CINTA

Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi lebih beberapa menit saat keponakan saya yang masih duduk di bangku SD kelas dua tiba dari sekolah dengan sepedanya. Masih dari jalan depan rumah, ia sudah berteriak lantang kepada ibunya—Bibi saya, meminta uang dua ribu rupiah. Ya, hanya dua ribu rupiah memang. Tetapi untuk anak kecil seusianya yang tinggal di sebuah desa kecil, uang sejumlah itu nilainya sudah cukup besar. Tak kalah lantang, ibunya menimpali permintaan itu dengan emosional. Saya yakin, jika ada di rumahnya, tetangga kanan kiri rumah akan mendengar dengan sangat jelas suara Bibi saya itu. Sebenarnya pertanyaan standar saja; ia menanyakan untuk apa uang sejumlah itu? Hanya saja, pertanyaan standar itu terdengar seolah menjadi sebuah “kemurkaan” di telinga keponakan saya karena intonasi suaranya yang sangat tinggi. Bibi saya juga langsung ber-su’uzhan, bahwa uang sejumlah itu akan dibelikannya mainan karena hari itu ada seorang warga yang sedang hajatan mengadakan hiburan Orgen, yang tentu saja akan banyak orang berjualan di sana. Tanpa memberinya kesempatan berdialog untuk mengutarakan alasannya meminta uang sejumlah itu dengan bahasa cinta seorang ibu. Bisa ditebak, keponakan saya langsung mengeluarkan jurus pamungkasnya: menangis seketika. Masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang belum sempat dilepasnya. Cukup lama ia menangis. Di sela tangisannya, di antaranya ia menyebut-nyebut uang miliknya dari pemberian para famili yang “diminta” (baca: disimpan) oleh ibunya. Bibi saya yang tidak sabaran dan cenderung emosional, mendengar anaknya menyebut-nyebut uang miliknya yang “diminta” olehnya, menanggapinya juga dengan kurang bijak. Ia langsung membuka lemari tempat di mana uang itu disimpan dan diberikannya uang itu semuanya kepada keponakan saya. Habiskan saja semua uang itu, kata Bibi saya masih dengan emosinya pada anaknya yang masih menagis tersedu-sedu di depannya. Begitulah bahasa cinta yang dimiliki Bibi saya pada anak semata wayangnya. Sekarang, izinkan saya bercerita kepada Anda, jika seandainya kejadian serupa saya alami beberapa tahun yang akan datang. Ya, karena bukan tak mungkin saya juga akan merasakan menjadi orang tua seperti Bibi saya, iya kan? “Mamaa…! Aku minta uang dua puluh ribu!!” Teriak Ahmad lantang masih dari pinggir jalan depan rumah sepulang sekolah dengan sepeda mininya yang dicat warna hijau muda. Anak semata wayangku itu masih duduk di bangku SD kelas dua. Aku tersenyum lebar mendengar teriakannya. Sambil membukakan pintu samping rumah mungil kami, aku menyapanya dengan wajah matahari sepenggalah. “Assalaamu ’alaikum! Wah, jagoan Mama sudah pulang ya?” Ahmad turun dari sepedanya dan menuntunnya ke arahku. Walau tampak cuek, akhirnya ia malu-malu menjawab salamku. Ya, aku memang selalu mengingatkannya untuk mengucapkan salam salam setiap akan masuk ke rumah. Tapi tadi mungkin ia lupa. Aku bisa memakluminya. Sembari Ahmad melepas sepatunya, aku mengambil segelas air putih untuknya dengan mug bergambar lucu kesayangannya. Kemudian aku lap keringat dingin yang membanjir di dahi dan mukanya. “Stop! Cuci tangan dulu, Sayang…, ” cegahku ketika tangan Ahmad akan menyerobot mug berisi air putih di depannya. Lagi, meski kelihatan enggan ia menuruti kata-kataku. Ia menuju tempat air untuk mencuci tangannya. Setelah menghabiskan minumnya, aku mengajak Ahmad ke “ruang santai” rumah kami yang sekaligus menjadi ruang belajar, ruang kerja, dan perpustakaan mini keluarga. Tempat di mana sebuah PC dan printer, beberapa rak berisi koran, majalah, jurnal ilmiah, ensiklopedi, kamus aneka bahasa, Al-Quran dan buku-buku fiksi dan nonfiksi, sebuah whiteboard ukuran sedang, serta beberapa alat permainan kreatif milik Ahmad berada. Di sana, sambil mengganti seragam sekolahnya, Ahmad mulai bercerita tentang aktivitasnya di sekolah tadi. Aku mendengarkannya antusias sambil memeriksa buku-buku catatan sekolahnya. Wah, pagi ini Ahmad mendapat nilai 10 untuk Matematika, 9 untuk Bahasa, dan 7.5 untuk Menggambar. Tak mau kehilangan momen baik, aku pun memberikan ucapan selamat untuknya dan lebih memotivasinya agar menjadikan belajar dan sekolah sebagai salah satu bentuk ibadah dan bukan semata untuk mendapatkan nilai bagus saja, di antara kalimat-kalimat yang meluncur deras dari bibirnya. Juga mengingatkannya lagi agar pada saat waktu belajar tiba tidak harus selalu diingatkan oleh kami, orang tuanya. Hingga sampailah Ahmad pada cerita itu…. “Mama….” Ahmad tampak sungkan melanjutkan kalimatnya. Aku menatap mata beningnya dengan cinta. Memintanya untuk tak sungkan bercerita apa adanya tanpa harus dengan berkata-kata. Aku menganggukan kepalaku dan tersenyum lebar untuknya. “Mama, ee….” Ia masih ragu. “Ingat tidak apa kata Rosul? Orang jujur disayang…?” Disayang Allah! Aku yakin sekali Ahmad menjawabnya begitu, meski ia tidak mengucapkannya. “Tadi di sekolah, Farhan membawa VCD cerita Nabi Musa. Aku sih hanya lihat cover-nya saja. Tapi kata Farhan yang sudah menontonnya, ceritanya bagus banget lho, Ma….” Akhirnya, tanpa diminta Ahmad bercerita tuntas tentang alasannya meminta uang dua puluh ribu rupiah tadi. Sedetil-detilnya dengan penuh harapan aku akan mengabulkan permintaannya. Setelah mempertimbangkan dengan matang dan penuh perhitungan, aku menjawab rengekannya. “Iya, Mama bisa memahaminya. Coba nanti Ahmad bilang sendiri sama Papa ya? Insya Allah Mama dukung deh. Tapi….” “Tapi kenapa, Ma?” “Ada syaratnya. Kalau Papa mengabulkannya, Ahmad harus hafal surat Al-Insyiroh. Oke?” Begitulah bahasa cinta yang ingin saya ajarkan kepada anak-anak saya kelak. Oh ya, jangan lupa doakan saya semoga bisa menjadi orang tua yang sabar, bijak, dan mendidik buah hati saya dengan cinta suatu hari nanti. Insya Allah. Oleh Setta SS

berbagi.................

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash –semoga Allah meridoinya- dia mengatakan, “Kami (berkumpul) berenam bersama Rasulullah saw., maka berkatalah orang-orang musyrik kepada beliau, ‘Usirlah mereka agar mereka tidak berani-berani kepada kami.’ Dan aku saat itu bersama Ibnu Mas’ud, dua orang dari (kabilah) Hudzail, Bilal, dan dua orang lagi tidak kuhafal namanya. Maka terjadilah pada hati Rasulullah apa yang Allah kehendaki terjadi (yakni hampir terpengaruh untuk mengikuti keinginan orang kafir itu, pen.) lalu ia berbicara pada dirinya. Maka Allah swt. menurunkan: ‘Dan janganlah kalian mengusir orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari dengan mengharapkan wajah Allah’ (Al-An’am 52).” (Hadits Shahih riwayat Muslim) Hadits di atas mengarahkan kita agar menjadikan nilai-nilai ilahiyyah sebagai standar untuk menentukan pilihan: apakah kita mendekat atau mengambil jarak dengan seseorang atau suatu komunitas. Nilai-nilai material duniawi sama sekali tidak boleh menjadi parameter dalam hal itu. Dan untuk itulah Rasulullah saw. diingatkan oleh Allah swt. Sayyid Quthb mengemukakan, “Inti persoalannya bukanlah sekedar bagaimana seharusnya seorang manusia diperlakukan atau bagaimana seharusnya sekelompok manusia diperlakukan. Dimensinya lebih jauh dan lebih agung dari sekedar itu. Inti persoalannya adalah: bagaimana seharusnya manusia menimbang segala urusan dalam kehidupan ini? Dari mana manusia mengambil nilai-nilai untuk dijadikan parameter? Dan arahan rabbani dalam ayat itu menegaskan bahwa hendaknya manusia di muka bumi mengambil nilai-nilai dan parameter dari pandangan Allah saja, yang datang kepada mereka dari langit, tidak terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan rendahan bumi. Nilai-nilai yang bukan muncul dari pandangan-pandangan yang terikat dengan kepentingan bumi.” (Fi Zhilalil-Quran, juz 6: 3825) Rasulullah saw. juga pernah ditegur Allah swt. karena mengabaikan orang kecil, buta pula, yang ingin meningkatkan pemahaman tentang Islam dan mengamalkannya. Orang itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Sehingga karena begitu terkesannya Rasulullah saw. oleh perinstiwa tersebut, jika bertemu dengannya, beliau sering kali mengucapkan kalimat, “Selamat datang orang yang karenanya Allah menegurku.” Ya, wajar bila kalimat itu sering dilontarkan oleh Rasulullah saw. kepada Ibnu Ummi Maktum, sebagai pernghormatan terhadapnya. Memang karena Ibnu Ummi Maktum itulah Allah swt. Menurunkan ayat: “Ia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang kepadanya orang yang buta. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya. Ada pun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri. Dan ada pun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). Sedang ia takut kepada Allah, maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali janganlah demikian! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.” (‘Abasa 1-11) Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Saat itu Rasulullah saw. ingin Ibnu Ummi Maktum itu diam agar memberinya waktu berbicara kepada orang-orang itu sebab Rasulullah sangat terobsesi untuk menarik mereka ke dalam Islam.” (Tafsir Ibnu Katsir juz IV: 471) Da’i memang sangat berpeluang tergoda untuk hanya suka merapat kepada orang-orang ‘gede’. Baik dari sisi pengaruh, jabatan, kekuasaan, kekayaan, atau dalam sisi lainnya. Sangat boleh jadi ada pembenaran yang tampak logis untuk pilihan itu. Seperti pembenaran yang juga dimiliki Rasulullah saw.: jika kepalanya terpegang, maka ekornya pasti akan ikut. Akan tetapi jangan lupakan hal-hal berikut: Pertama, dakwah adalah proyek penyebaran hidayah Allah untuk penyelamatan diri dan manusia dari kehancuran dan adzab Allah. Karenanya, dakwah adalah proyek penyelamatan manusia orang per orang. Kedua, dakwah itu milik semua orang dalam segala lapisan dengan tidak membeda-bedakan status sosial dan kedudukannya. Apalagi Rasulullah saw. memang diutus untuk seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-Nya: “Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia.” (Saba: 28). Ketiga, orang-orang yang mempunyai pengaruh biasanya memiliki kepentingan lebih banyak dan besar daripada orang-orang kecil. Karenanya, akan banyak gangguan untuk memiliki ketulusan dalam menerima Islam. Lebih-lebih kalau kemudian dia akan kehilangan segala posisi bila masuk Islam atau masuk dalam barisan dakwah. Makanya Allah menggambarkan orang-orang semacam itu dengan “manistaghna” (orang yang merasa berkecukupan), orang yang merasa mempunyai cukup kekuatan untuk mengeksploitasi manusia baik dalam bentuk harta, kekuasaan, kekuatan, pendukung dan sebagainya. Rasulullah saw. pernah diingatkan Allah swt. saat hampir terpedaya dengan jebakan itu: “Jika saja tidak kami teguhkan (hati) engkau niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan timpakan (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula sikaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (Al-Isra: 74) Keempat, memang orang-orang berpengaruh besar yang mendapat hidayah Allah dan kemudian menjadi pembela Islam tidak sedikit. Namun harus diingat bahwa segala upaya untuk itu jangan sampai mengabaikan orang-orang yang jelas-jelas ingin membersihkan diri dan secara tulus ingin menjadi Muslim yang baik. Sejarah perjuangan para nabi dan para dai membuktikan bahwa pendukung pertama dakwah adalah wong cilik. Allah swt. menggambarkan: “Mereka (orang-orang kafir) mengatakan, ‘Haruskan kami mengikuti kamu padahal yang mengikuti kamu adalah orang-orang hina’.” (Asy-syu’ara: 111) “Maka berkatalah para elit orang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja’.” (Hud: 27) Secara umum, orang kecil –karena mereka tidak punya banyak kepentingan, selain hidup sejahtera– cenderung lebih mudah menerima dakwah. Di samping itu mereka sering menjadi sasaran kezaliman para elit tersebut. Dan mereka mendapatkan kemerdekaan dan penghormatan hanya manakala mereka berada dalam pangkuang Islam dan dakwah. Oleh karenanya, hanya tertarik berdakwah kepada orang-orang ‘besar’ dan mengabaikan dakwah terhadap orang-orang ‘kecil’ adalah tindakan sangat rendah dan hina. Baik kecil dalam pengertian status sosial dan kepemilikan harta maupun kecil dalam pengertian jumlahnya sangat sedikit dan bukan perkumpulan massal. Dan lebih nista lagi, bila seorang dai lebih tertarik melayani dakwah di tengah orang-orang gedean itu karena ‘penghargaannya’ (maksudnya harga bayarannya) lebih besar. Allah swt berfirman, “Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka terbebani dengan hutang.” (Ath-Thur: 40 & Al-Qalam: 46) Jadi, bila ada orang atau masyarakat kecil yang benar-benar ingin melakukan pembersihan jiwa terabaikan hanya gara-gara mereka tidak dapat memberikan ‘penghargaan’ yang memadai, maka para dai akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah swt. Allahu a’lam. Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/merapat-kepada-orang-kecil/

jujur,............

Mana yang lebih mahal, sepercik kejujuran ataukah sebongkah cinta ? "Sesungguhnya sepercik kejujuran lebih berharga dari sebongkah cinta. Apa arti sebongkah cinta kalau dibangun diatas kebohongan ? Pasti rapuh bukan ? Betapa indahnya apabila kejujuran dan cinta ada pada diri seseorang. Beruntunglah Anda yang memiliki kejujuran dan ketulus...an cinta".......................... Belajar mencintai..perlu kekuatan. Belajar jujur..ekstra kekuatan dan kesabaran. Tapi bila belajar jujur karena mencintai...akan terasa mudah. Hmm....walau kadang kejujuran itu pahit, tapiiii..bikin plong:), karena cinta jadi mesti jujur, klo gak jujur itu gak cinta!.
by, Ustadz Aam Amiruddin

Sabtu, 29 Mei 2010

Kisah Menjadi Kaya karena Menikah


Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?” Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak jelas.

Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...”. Kata-kata suamiku -ketika masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar saja?” sambutku heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas.” Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?

***

Hari-hari pertama kami pindahan.
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada suami yang tengah berbenah. “Udah, itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?” tanyaku lebih lanjut. “Iya, banyak kan?” tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku. Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk belanja pakaian. Oo!

Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari. Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!

Baru sebulan menikah.
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?”
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah saranaku mengerjakan amanah di organisasi.” Si mas pun mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.

Masih bulan awal perkawinan kami.
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.

Belum lagi tiga bulan menikah.
“Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional. “Oke, tapi buat daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan berkata,”Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?” Aku mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?

Masih tiga bulan pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?” Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
“Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan lantas menjadi pelit!

Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas menengah (meski masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.

Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.

Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...

Catatan Yusuf Mansyur Network

Jumat, 28 Mei 2010

Kewajiban Membentuk Rumah Tangga Islam

Islam agama yang diturunkan Allah swt. kepada manusia untuk menata seluruh dimensi kehidupan mereka. Setiap ajaran yang digariskan agama ini tidak ada yang berseberangan dengan fitrah manusia. Unsur hati, akal, dan jasad yang terdapat dalam diri manusia senantiasa mendapatkan “khithab ilahi” (arahan Allah) secara proporsional.
Oleh karenanya, Islam melarang umatnya hidup membujang laiknya para pendeta. Hidup hanya untuk memuaskan dimensi jiwa saja dan meninggalkan proyek berkeluarga dengan anggapan bahwa berkeluarga akan menjadi penghalang dalam mencapai kepuasan batin. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan fitrah manusia yang berkaitan dengan unsur biologis.
Berkeluarga dalam Islam merupakan sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk (kecuali malaikat), baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan ditekankan dalam ajaran Islam bahwa nikah adalah sunnah Rasulullah saw. yang harus diikuti oleh umat ini. Nikah dalam Islam menjadi sarana penyaluran insting dan libido yang dibenarkan dalam bingkai ilahi. Agar kita termasuk dalam barisan umat ini dan menjadi manusia yang memenuhi hak kemanusiaan, maka tidak ada kata lain kecuali harus mengikuti Sunnah Rasul, yaitu nikah secara syar’i. Meskipun ada sebagian Ulama yang sampai wafatnya tidak sempat berkeluarga. Dan ini bukan merupakan dalih untuk melegalkan membujang seumur hidup. Adapun hukumnya sendiri –menurut ulama– bertingkat sesuai faktor yang menyertainya. Coba perhatikan beberapa nash di bawah ini:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِى مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِى حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى » . تحفة 745 – 2/7 ، رواه البخاري

Sa’idbin Abu Maryam menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far mengabarkan kepada kami, Humaid bin Abu Humaid At-Thawil bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik r.a. berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi saw. menanyakan ibadah Nabi saw. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan tidak berarti (sangat sedikit). Mereka berkata: “Di mana posisi kami dari Nabi saw., padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.” Salah satu mereka berkata: “Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.” Yang lain berkata: “Akan akan puasa selamanya.” Dan yang lain berkata: “Aku akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah menikah.” Lalu datanglah Rasulullah saw. seraya bersabda: “Kalian yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (Al-Bukhari)

Ada beberapa faktor yang mendasari urgensinya pembentukan keluarga dalam Islam sebagaimana berikut:

1. Perintah Allah swt.

Membentuk dan membangun mahligai keluarga merupakan perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya. Agar teralisasi kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar manusia berjalan selaras dengan fitrahnya. Kata “keluarga” banyak kita temukan dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam beberapa ayat berikut ini;

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara’: 214)

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)

2. Membangun Mas’uliah Dalam Diri Seorang Muslim.

Sebelum seorang berkeluarga, seluruh aktivitasnya hidupnya hanya fokus kepada perbaikan dirinya. Mas’uliah (tanggung jawab) terbesar terpusat pada ucapan, perbuatan, dan tindakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Dan setelah membangun mahligai keluarga, ia tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya saja. Akan tetapi ia juga harus bertanggungjawab terhadap keluarganya. Bagaimana mendidik dan memperbaiki istrinya agar menjadi wanita yang shalehah. Wanita yang memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya. Bagaimana mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani nan qurani. Coba kita perhatikan beberapa hadits berikut ini:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَنْ قَتادَةَ عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَهُ حَتىَّ يُسْأَلَ الرَّجُلُ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ غَرِيْبٌ مِنْ حَدِيْثِ قَتادةَ لَمْ يَرْوِهِ إِلَّا مُعاذُ عَنْ أَبِيْهِ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga kepemimpinannya atau melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.” (Hadits gharib dalam Hilayatul Auliya, 9/235, diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisaa’, hadits no 292 dan Ibnu Hibban dari Anas dalam Shahihul Jami’, no.1775; As-Silsilah Ash-Shahihah no.1636).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- :« خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى ».

Dari Aisyah r.a., berkata: “Nabi saw. bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik pada kelurganya dan aku paling baik bagi keluargaku.” (Imam Al-Baihaqi)

وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( أكْمَلُ المُؤمِنِينَ إيمَاناً أحْسَنُهُمْ خُلُقاً ، وخِيَارُكُمْ خياركم لِنِسَائِهِمْ )) رواه الترمذي ،

Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (Imam At-Tirmidzi, dan ia berkata: “Hadits hasan shahih.”

3. Langkah Penting Membangun Masyarakat Muslim

Keluarga muslim merupakan bata atau institusi terkecil dari masyarakat muslim. Seorang muslim yang membangun dan membentuk keluarga, berarti ia telah mengawali langkah penting untuk berpartisipasi membangun masyarakat muslim. Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

عَن أنسٍ رضي الله عنه قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِالْبَاءَةِ ، وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا ، وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ .فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ } رَوَاهُ أَحْمَدُ ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ .وَلَهُ شَاهِدٌ عِنْدَ أَبِي دَاوُد ، وَالنَّسَائِيُّ ، وَابْنِ حِبَّانَ مِنْ حَدِيثِ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ

Dari Anas r.a. berkata: “Rasulullah saw. memerintahkan kami dengan “ba-ah” (mencari persiapan nikah) dan melarang membunjang dengan larangan yang sesungguhnya seraya bersabda: “Nikaihi wanita yang banyak anak dan yang banyak kasih sayang. Karena aku akan berlomba dengan jumlah kamu terhadap para nabi pada hari kiamat.” (Imam Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban. Memiliki “syahid” pada riwayat Abu Dawud, An-Nasaai dan Ibnu Hibban dari hadits Ma’qil bin Yasaar)

4. Mewujudkan Keseimbangan Hidup

Orang yang membujang masih belum menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila ia terus membujang, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya, kegersangan jiwa, dan keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam hidupnya, Islam memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul, yaitu membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi. Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ الْبَاقِى. رَوَاهُ الْبَيْهَقِي

Dari Anas bin Malik r.a. berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang menikah maka ia telah menyempurnakan setengah agama. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam setengahnya.” (Imam Al-Baihaqi)

Menikah juga bisa menjaga keseimbangan emosi, ketenangan pikiran, dan kenyamanan hati. Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ».رواه مسلم

Dari Abdullah berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barangsiapa dari kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandangan dan memelihara farji (kemaluan). Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu merupakan benteng baginya. (Imam Muslim)

Semoga kita dimudahkan Allah untuk melaksanakan sunnah ini. Amin
 
Tim Dakwatuna.


 

Awal Goyangnya Bangunan Islam, Prediksi Akhir Jaman


Mengapa dunia begitu kaco ? liatin berbagai berita di media. Hampir semua mengabarkan kekacauan, perselisihan dan kezaliman. Sedemikian merebaknya kekacauan sampai-sampai di kalangan insan media di dunia barat berkembang suatu motto yaitu Bad News Is Good News (berita buruk adalah berita baik). Artinya berita yang mengandung kekacauan diyakini bakal mendatangkan profit bisnis. Bila suatu berita mengandung kebaikan, maka ia dianggap ”tidak menjual” Astaghfirullah..!!

Namun pertanyaan di atas belonan kejawab... Mengapa hal ini terjadi di masa kita sekarang? Saudaraku, tidak perlu kita susah-susah nyariin jawabnya. Silahkan simak pesan Nabi Muhammad saw berikut:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ

لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ

تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

(AHMAD - 21139) : Dari Abu Umamah Al Bahili dari Rasulullah Shallallahu'alaihiWasallam
bersabda: “Sungguh ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai maka manusia akan bergantunganpada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat."

Peradaban modern yang disetir oleh Dunia Barat telah menyebabkan seluruh masyarakat dunia terjebak ke dalam suatu kehidupan yang gak ngakuin eksistensi Allah dan meyakini bahwa hidup ini hanyalah di dunia belaka. Sebagaimana Allah gambarkan mengenai kaum sekularis (orang-orang yang dunia-minded) di dalam Al-Qur’an:

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا

إِلا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلا يَظُنُّونَ

”Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS Al-Jatsiyah ayat 24)

Dari sejarah, kita dapati bahwa sebenarnya selama hampir empat-belas abad dunia berada dalam kebaikan karena dipimpin oleh orang-orang beriman yang senantiasa mengembalikan segenap urusan –baik pribadi maupun publik– kepada hukum Allah dan RasulNya. Para pemimpin tersebut berusaha keras untuk memimbing masyarakat menuju keridhaan Allah dan mengikuti sunnah NabiNya. Memang harus diakui bahwa selama masa itu terkadang ada saja khalifah-khalifah pemimpin ummat yang memiliki karakter bermasalah (baca:fajir), tapi secara formal otoritas kemasyarkatan pada masa itu masih menjunjung tinggi sumber utama rujukan ummat Islam, yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah. Sehingga secara garis besar ummat masih merasakan rahmat dan nikmatnya hidup di bawah naungan hukum Allah. Sehingga selama rentang waktu yang begitu panjang ummat masih menyerahkan ketaatan dan loyalitasnya kepada Ulil Amriminkum (pemegang urusan dari kalangan orang-orang beriman) sebagaimana diperintahkan Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ

وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)

Namun semenjak dunia menyaksikan berdirinya berbagai negara berdasarkan konsep kebangsaan dan bukan lagi berlandaskan aqidah tauhid dan ibadah kepada Allah semata, maka mulailah dalam bidang hukum masing-masing nation-states tersebut meninggalkan hukum Allah dan RasulNya lalu berkreatifitas menyusun sendiri hukumnya masing-masing. Ada yang kurang kreatif sehingga begitu saja mengadopsi sistem hukum mantan penjajahnya, seperti Indonesia mengambil perangkat hukum Belanda sebagai hukum nasionalnya. Namun ada juga yang sedikit lebih kreatif dengan mengkombinasikan hukum mantan penjajahnya dengan hukum adat-setempat plus campuran hukum dari Al-Qur’an. Tetapi tidak ada yang secara murni dan konsekuen menjadikan hanya Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah sebagai rujukan tunggal hukum nasionalnya, apalagi dalam tataran aplikasinya.

Inilah salah satu tanda akhir zaman yang di-nubuwwah-kan (diprediksi) oleh Rasulullah saw di dalam hadits riwayat Imam Ahmad di atas. “Sungguh ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai maka manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat."

Jelas sekali Nabi saw ngewanti-wanti bahwa dekadensi penerapan ajaran Islam diawali dengan lepasnya simpul dalam soal hukum. Dewasa ini kita menyaksikan bahwa tidak ada lagi tatanan masyarakat yang masih menerapkan hukum Islam secara murni dan konsekuen. Semua berlomba meninggalkan hukum Allah dan membanggakan hukum produk kelompok manusia masing-masing bangsa. Tanpa kecuali hal ini juga terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Jika masyarakat diajak untuk kembali kepada penerapan syariat Islam atau kembali kepada hukum Allah dan RasulNya, maka kebanyakan orang menolaknya. Padahal sikap penolakan seperti yang mereka tunjukkan hanya pantas dilakukan oleh kaum munafik sebagaimana Allah jelaskan berikut:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ

رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS An-Nisa ayat 61)

Hukum Allah wajib ditegakkan karena hanya dengan menerapkan hukum Al-Qur’an sajalah kebenaran dan keadilan dapat diwujudkan. Banyak orang mengaku membela kebenaran dan keadilan, namun jika ditanya apa yang dia maksud dengan kebenaran dan keadilan, maka ia pasti akan menjawab selain Al-Qur-an. Padahal kebenaran dan keadilan hanya dapat wujud jika kita menegakkan hukum berlandaskan Kitab Allah, yakni Al-Qur’an.

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا

لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’aam ayat 115)



Wajarlah bila hukum Al-Qur’an merupakan hukum satu-satunya yang benar dan adil, sebab seluruhnya bersumber dari Allah Yang Maha Benar lagi Maha Adil. Sedangkan hukum manusia merupakan hukum yang pati mengandung cacat dan ketidak-sempurnaan, sebab Allah sendiri menggambarkan manusia sebagai makhluk yang amat zalim lagi amat bodoh. Bagaimana mungkin manusia dengan karakter seperti itu akan sanggup memproduk hukum yang benar apalagi adil? Tidak mengherankan kalau di zaman ini kita temukan bahwa berbagai kezaliman dan perilaku bodoh merebak di tengah kehidupan masyarakat modern.

إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ

فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab ayat 72)

Saudaraku, dari terurainya simpul Islam yang paling pertama ini, maka kitapun menyaksikan terurainya berbagai simpul Islam lainnya. Sehingga dewasa ini tidak lagi mengagetkan bila kita mendapati seorang yang mengaku muslim dengan ringannya meninggalkan kewajiban paling asasi, yaitu sholat. Dan jika ini benar, berarti dewasa ini kita sedang menyaksikan realisasi hadits Nabi saw di atas di mana dari ikatan Islam paling awal –yaitu masalah hukum– hingga ikatan Islam paling akhir –yaitu sholat– semua telah terurai.

Saudaraku, marilah kita menjadikan ini sebagai ibrah agar kita memainkan peranan seoptimal mungkin untuk merajut kembali ikatan Islam simpul demi simpul. Dimulai dengan kita menghidupkan sholat wajib berjamaah dan di masjid hingga mengadvokasi wajibnya ummat kembali hanya tunduk kepada hukum Allah dan RasulNya dan meninggalkan hukum zalim lagi tidak cerdas bikinan manusia yang hanya menimbulkan kekacauan, melestarikan kemungkaran dan berfihak kepada kezaliman. Insya Allah.

BANGUNKAN AKU TEMAN


Dini hari pukul 02. 10 aku terbangun oleh sebuah nada yang amat kukenal dari ponselku. Tanpa berfikir panjang, segera kuhampiri benda kecil kotak warna hitam itu; namun belum sempat kutekan "ok" untuk menjawab panggilan tadi, bunyi nada dari ponselku sudah berhenti. Terlambat! Entah sudah berapa menit ponselku tadi berbunyi. Sebuah nama terlihat dalam daftar misscall: Bu Umi.

Rasa kantukku seketika lenyap, berganti rasa khawatir. Gerangan apa tengah malam buta, Bu Umi, teman baikku menghubungi? Kalau bukan karena hal mendesak tentu bisa dilakukan besok pagi ketika matahari telah tinggi... Dan tak perlu mengagetkan mimpi indahku.

Jangan-jangan, Hana atau Husna sakit, atau... Hampir saja aku menekan tuts ponsel, memanggil balik nomor Bu Umi untuk memastikan apa yang terjadi. Namun tiba-tiba akutersentak oleh sesuatu yang membuatku geli dan malu pada diri sendiri.

Astaghfirullah... Malam ini memang aku dan Bu Umi sudah janjian, siapa yang bangun duluan, akan membangunkan yang lain untuk qiyamullail... Ternyata dia yang duluan.

"Kita coba saja yuk saling membangunkan untuk tahajjud, supaya semangat kita seperti dulu lagi" demikian usulnya pada suatu perbincangan tempo hari, disusul dengan anggukan persetujuanku.

Saat itu memang kami sedang berdiskusi tentang kondisi para ibu yang terasa sangat menurun kualitas ibadah, ukhuwah maupun aktivitas da'wahnya karena disibukkan dengan rutinitas rumah tangga, yang terkadang dijadikan legalisasi alias kambing hitam.

Beberapa teman kami terlihat hambar dalam setiap pertemuan. Datang, duduk, mendengarkan materi, terus pulang. Kedekatan hati terasa begitu mahal. Keterbukaan dan keakraban pun kami rasakan kurang. Bahkan ada juga yang terkesan mencari-cari alasan untuk dapat sekadar hadir dalam majelis yang telah kami sepakati. Barangkali banyak faktor yang menyebabkan kelesuan ini.

"Setidaknya kita mencoba untuk menunjukkan kepedulian, melalui saling mengingatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada tiap-tiap tengah malam yang hening.." demikian kesepakatan yang kami putuskan.

Setelah menarik nafas panjang, segera aku bangkit, dan sebelum mengambil air wudhu, beberapa nama di ponselku sempat aku kirim misscall, dengan harapan mereka juga mengingat ikhtiar ini.

Dan memang terasa lain qiyamullail kali ini. Ada keharuan dalam dada, ketika terbayang wajah-wajah teman dan sahabat. Semoga mereka senantiasa mendapat rahmat, ampunandan hidayah-Nya; serta mendapat kekuatan luar biasa untuk berjuang menegakkan kebenaran. Amin.

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui, bahwa hati-hati ini telah terkumpul untuk mencintai-Mu, untuk taat kepada-Mu, bersatu untuk dakwah di jalan-Mu, berjanji untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalannya, penuhilah dengan nur cahaya-Mu yang tidak akan pernah pudar... "

Oleh Fivy Miftahiyah 

Faedah Surat Al Mulk, Hanya Allah Pemberi Rizki


Segala puji bagi Allah, Rabb yang menurunkan Al Qur’an yang penuh keberkahan. Shalawat dan salam kita panjatkan kepada sayyid ibni Adam (penghulu seluruh manusia) yaitu Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. Begitu indah dan menyejukkan hati jika kita dapat terus merenungkan Kalamullah, Al Qur’an Al Karim. Saat ini kita akan melanjutkan tafsir Surat Al Mulk (serial ketujuh), ayat 20 dan 21. Kemudian kita juga akan ambil faedah-faedah berharga di dalamnya.

Orang Musyrik Sama Sekali Tidak Memiliki Penolong
Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ مَنْ هَذَا الَّذِي هُوَ جُنْدٌ لَكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِنْ دُونِ الرَّحْمَنِ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ
Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain daripada Allah yang Maha Pemurah? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu.” (QS. Al Mulk: 20)
Allah Ta’ala menceritakan mengenai orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah. Mereka mengharap pada selain Allah pertolongan dan rizki. Lalu Allah membantah keyakinan mereka tersebut, apa-apa yang mereka harap-harap tidak mungkin tercapai. Allah Ta’ala katakan (yang artinya), “Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain daripada Allah yang Maha Pemurah?” Maksudnya, orang-orang musyrik sama sekali tidak memiliki penolong dan pelindung selain Allah. Oleh karena itu selanjutnya Allah katakan (yang artinya), “Orang-orang kafir benar-benar telah tertipu.” Demikian penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya.[1]
Meminta Tolong yang Termasuk Kesyirikan
Meminta tolong kepada selain Allah dibolehkan selama yang dimintai tolong itu masih hidup, ada di tempat dan mampu untuk memenuhi pertolongan. Sebagaimana hal ini diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa.” (QS. Al Maidah: 2)
Juga diisyaratkan hal ini dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُعِينُ الرَّجُلَ فِى دَابَّتِهِ يُحَامِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ
Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah.” (HR. Bukhari no. 2891 dan Muslim no. 1009)
Sedangkan meminta tolong yang bernilai syirik adalah apabila yang dimintai tolong itu sudah mati, tidak di tempat atau tidak mampu mengabulkan permintaan tolong. Hal ini diisyaratkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan pada sahabat mulia Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
Jika engkau ingin meminta, mintalah pada Allah dan jika engkau ingin meminta tolong, mintalah pada Allah. ” (HR. Tirmidzi no. 2516)
Dalam perkara yang hanya Allah saja yang bisa memberi pertolongan seperti meminta diturunkannya hujan, maka jika hal ini diminta pada selain Allah, itu termasuk kesyirikan.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seandainya makhluk selain Allah itu bersatu untuk memberikan pertolongan pada seorang hamba terhadap musuh mana pun, maka itu tidaklah bermanfaat sama sekali walaupun sebesar semut kecil.”[2]
Yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’di sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ
Ketahuilah sesungguhnya seandainya ummat bersatu untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan memberi manfaat apa pun selain yang telah ditakdirkan Allah untukmu”. (HR. Tirmidzi no. 2516, shahih)
Sudah Tahu Kebenaran Namun Berpaling
Dalam ayat selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ مَنْ هَذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ بَلْ لَجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ
Atau siapakah Dia yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rezki-Nya? Sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?” (QS. Al Mulk: 21)
Tidak ada seorang pun yang dapat memberi dan menahan, begitu pula tidak ada yang dapat mencipta, memberi rizki dan memberi pertolongan melainkan Allah Ta’ala, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya dalam hal ini. Orang-orang musyrik sudah mengetahui hal ini, namun anehnya mereka masih tetap menyembah atau beribadah kepada selain Allah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala katakan selanjutnya,
بَلْ لَجُّوا
Sebenarnya mereka terus menerus ...” yaitu mereka terus menerus dalam melampaui batas, kebohongan dan kesesatan.
فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ
Maksudnya, mereka terus menerus dalam penentangan dan kesombongan. Mereka pun berpaling dari kebenaran, mereka enggan untuk merespon (taat) dan mengikuti kebenaran tersebut. Demikian penjelasan dari Ibnu Katsir rahimahullah mengenai ayat di atas.[3]
Itulah keadaan orang-orang musyrik. Mereka sudah tahu kebenaran. Namun mereka begitu sombongnya berpaling darinya. Jika seorang muslim demikian, maka ia sama halnya dengan orang-orang musyrik.
Hanya Allah Yang Maha Memberi Rizki
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan mengenai Surat Al Mulk ayat 21 di atas. Beliau berkata,
“Semua rizki berada di tangan Allah. Jika Allah menahan rizki pada seseorang, lantas siapa lagi yang dapat memberi rizki padanya? Makhluk tentu saja tidak dapat memberi rizki untuk dirinya sendiri. Lantas bagaimanakah lagi ia memberi rizki untuk yang lainnya? Pemberi rizki, pemberi nikmat, satu-satunya hanyalah Allah. Oleh karena itu, hanya Allah-lah yang pantas diibadahi.”[4]
Maka sungguh aneh jika seseorang sudah meyakini hal ini, namun ia masih saja memohon hajat, larisnya dagangan pada selain Allah, semisal dengan mendatangi kubur wali untuk ngalap berkah dengan tanahnya, atau mungkin dengan menggantungkan berbagai macam jimat sebagai penglaris dagangan dan bisnisnya.
Orang Musyrik Juga Mengenal Allah Ayat-ayat yang kami sebutkan menunjukkan bahwa orang-orang musyrik itu mengenal Allah. Mereka mengakui sifat rububiyah Allah. Mereka meyakini bahwa Allah sebagai pemberi rizki, pencipta dan pengatur alam semesta.
Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”
‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan kepada orang-orang musyrik: siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan menjawab: Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah, namun mereka menyembah selain-Nya juga.”[5]
Jika demikian, maka iman sebenarnya kepada Allah bukan hanya mengakui Allah sebagai pencipta dan pemberi rizki saja sebagaimana ajaran ini diagung-agungkan oleh para filosof. Benarlah firman Allah,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)
Namun iman yang benar juga harus dibuktikan dengan beribadah kepada Allah semata. Karena sesembahan yang diibadahi selain Allah adalah sesembahan yang batil, hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS. Luqman: 30)
Demikian faedah-faedah berharga dari dua ayat surat Al Mulk. Semoga bermanfaat. Semoga kita semakin gemar untuk merenungkan Kalamullah yang mulia sehingga membuat hati ini semakin sejuk dengannya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di Panggang-GK, 3 Jumadits Tsani 1431 H (16/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Empat Golongan Yang Ditarik Oleh Perempuan Ke Neraka! Tidak Hanya di dunia Perempuan itu menarik.


Assalamualaikum wr wb.

Seseorang wanita itu apabila di hari akhirat akan menarik empat
golongan
lelaki
bersamanya ke dalam neraka.

Na'uzubillah.

Pertama:- Ayahnya

Apabila seseorang yang bergelar ayah tidak mempedulikan anak-anak
perempuannya
di dunia. Dia tidak memberikan segala keperluan agama seperti mengajar
solat,
mengaji dan sebagainya. Dia membiarkan anak-anak perempuannya tidak
menutup aurat tidak cukup kalau dengan hanya memberi kemewahan dunia sahaja
maka dia akan ditarik oleh anaknya.

Kedua:- Suaminya

Apabila seorang suami tidak memperdulikan tindak tanduk isterinya.
Bergaul
bebas di kantor dan di mana-mana, memperhiaskan diri bukan untuk suami tapi untuk
pandangan kaum lelaki yang bukan mahram, apabila suami mendiam diri walaupun dia
seorang alim (solat tidak tangguh, puasa tidak tinggal) maka dia akan ditarik oleh
isterinya.

Ketiga:- Abang-abangnya

Apabila ayahnya sudah tiada, tanggungjawab menjaga maruah wanita jatuh pula ke
abang-abangnya jikalau mereka hanya mementing keluarganya sahaja dan adik
perempuannya dibiar melenceng dari ajaran ISLAM tunggulah tarikan adiknya di
akhirat.

Keempat:- Anak Lelakinya

Apabila seorang anak tidak menasihati seorang ibu perihal kelakuan yang haram
dari Islam, maka anak itu akan disoal dan dipertangungjawabkan di akhirat kelak
nantikan tarikan ibunya.

Maka kita lihat betapa hebatnya tarikan wanita bukan sahaja di dunia malah di
akhirat pun tarikannya begitu hebat maka kaum lelaki yang bergelar
ayah/suami/abang atau anak harus memainkan peranan mereka yang sebenar.

Firman ALLAH S.W.T.:-

"HAI ANAK ADAM PERIHARALAH DIRI KAMU SERTA AHLI KELUARGAMU DARI API
NERAKA,
DIMANA BAHAN PEMBAKARNYA IALAH MANUSIA DAN BATU-BATU....."

Hai wanita, kasihankan ayah anda, suami anda, abang-abang anda serta anak-anak
lelaki anda, kesiankanlah mereka dan diri kamu sendiri.jalankan perintah ALLAH
S.W.T. dengan bersungguh-sungguh dan dengan ikhlas.

Akhir kata, marilah kita berdoa agar kita semua terselamat dari ditarik dan
tertarik oleh mana-mana pihak ?????

Harga seseorang muslim adalah sangat berharga. ALLAH S.W.T. nilaikan seseorang
muslim dengan SYURGA, semua kaum muslim masuk syurga dan janganlah kita
membuang atau tidak mengendah janji ALLAH S.W.T.

SEMOGA KITA SEMUA TERGOLONG DALAM AHLI SYURGA.

AMIN..... YA RABBALALAMIN.

Kebaikan dan Dosa

Dari Nawas bin Sam’an r.a. dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya.” (Muslim)

Dan dari Wabishah bin Ma’bad ra berkata, ‘Aku datang kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk ertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa yang karenanya jiwa dan hati menjadi tentram. Dan dosa adalah apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.” (Ahmad dan Darimi)

Sanad Hadits:

Hadits di atas memiliki sanad yang lengkap (sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim, Kitab Al-Bir Wa Al-Sillah Wa Al-Adab, Bab Tafsir Al-Bir Wa Al-Itsm, hadits no 2553).

Takhrij Hadits :

Hadits ini (sebagaimana teks hadits di atas, riwayat Imam Muslim) melalui jalur sahabat An-Nawas bin Sam’an, diriwayatkan oleh:

• Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Bir Wa Al-Sillah Wa Al-Adab, Bab Tafsir Al-Bir Wa Al-Itsm, hadits no 2553.
• Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Al-Zuhud ‘An Rasulillah Sallallahu Alaihi Wasallam, Bab Ma Ja’a Fi Al-Bir Wa Al-Itsm, Hadits no 2389.
• Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, Musnad Al-Syamiyin, Hadits Annawas bin Sam’an Al-Kilabi Al-Anshari, hadits no 17179, 17180 & 17181.
• Imam Al-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Riqaq, Bab Fi Al-Bir Wa Al-Itsm, hadits no. 2789.

Sedangkan hadits yang kedua, diriwayatkan oleh:

• Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, Musnad Al-Syamiyin, Hadits Wabishah bin Ma’bad Al-Asady, hadits no. 17545.
• Imam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Buyu’, Bab Da’ Ma Yuribuka Ila Mala Yuribuka, Hadits no. 2533.

Tarjamatur Rawi

• An-Nawas bin Sam’an Al-Kilabi

Beliau merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang dikenal sebagai Ahlus Suffah, yaitu sahabat yang tinggal di tepian masjid dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah saw. Beliau tinggal di luar kota Madinah dan memilih untuk tidak berhijrah ke Madinah. Beliau lebih suka pulang pergi ke Madinah dalam rangka bertanya permasalahan agama kepada Rasulullah saw. Mengenai ketidakhijrahannya ini beliau mengemukakan, ‘Bahwa di antara kami jika telah berhijrah, maka ia tidak lagi bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sesuatu pun. Maka aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang al-birr (kebaikan) dan al-itsm (dosa).

• Jubair bin Nufair

Beliau adalah Jubari bin Nufair bin Malik, Abu Abdurrahman Al-Hadhrami Al-Hamshi. Merupakan salah seorang Kibar Al-Tabiin. Tinggal di Syam dan wafat pula di Syam pada tahun 80 H. Mengambil hadits diantaranya dari Busr bin Jahasy, Tsauban dan Jurtsum. Sedangkan yang mengambil hadits dari beliau diantaranya adalah, Al-Harits bin Yazid, Khalid bin Ma’dan bin Abikarib, ‘Aidzullah bin Abdillah, Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, Makhul, Yahya bin Jabir bin Hasan dsb. Adapun derajatnya dalam Jarh Wa Ta’dil adalah Tsiqah.

• Abdurrahman bin Jubair bin Nufair

Beliau adalah Abdurrahman bin Jubair bin Nufair Abu Humaid Al-Hadhrami Al-Hamshi. Merupakan salah seorang Wustha Minat Tabiin. Tinggal di Syam dan wafat pada tahun 118 H. Mengambil hadits diantaranya dari Anas bin Malik, Jubair bin Nufair bin Malik, Jundub bin Junadah, Mu’adz bin Jabal, Al-Harist bin Muawiyah dsb. Sedangkan yang mengambil hadits dari beliau diantaranya adalah Zuhair bin Salim, Syuraih, Atha’ bin Sa’ib bin Malik, Shafwan bin Amru bin Haram, Muhammad bin Al-Walid bin Amir, Isa bin Salim dsb. Sedangkan derajatnya dalam Jarah Wa Ta’dil, para ulama mengatakannya sebagai Tsiqah.

Gambaran Umum Tentang Hadits

Secara umum hadits menggambarkan mengenai kebaikan dan dosa. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan ‘kebaikan’ adalah akhlak yang baik sedangkan yang dimaksud dengan dosa adalah sesuatu yang ‘diragukan’ oleh diri kita sendiri, serta kita tidak menginginkan jika orang lain melihat kita melakukan hal tersebut. Hadits ini sekaligus menghilangkan ‘kebingungan atau kesamaran’ antara ‘sesuatu’ yang baik dan sesuatu yang buruk, terutama jika kesamaran tersebut terdapat dalam diri pelaku sendiri.

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengemukakan bahwa hadits ini termasuk hadits yang singkat dan padat, bahkan merupakan hadits yang paling padat, karena kebaikan itu mencakup semua perbuatan yang baik dan sifat yang ma’ruf. Sedangkan dosa mencakup semua perbuatan yang buruk dan jelek; baik kecil maupun besar. Oleh sebab itu Rasulullah saw. memasangkan di antara keduanya sebagai dua hal yang berlawanan.

Makna Al-Birr

Secara bahasa, al-birr berarti kebaikan. Bahkan sebagian ulama mendefinisikan “al-birr” ini dengan sebuah nama/istilah yang mencakup segala macam bentuk kebaikan. Sehingga tidaklah ada satu bentuk kebaikan pun, melainkan dicakup oleh kata al-birr ini. Meskipun demikian, terdapat juga ulama yang secara khusus memberikan makna yang dimaksud dari kata al-birr ini, diantara maknanya adalah hubungan baik, ketaatan, dan kelembutan.

Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan kata atau akar kata al-birr ini. Sejauh pengamatan penulis, setidaknya terdapat delapan kata al-birr yang disebutkan dalam al-Qur’an, yang berbentuk mashdar. Sedangkan jika ditelusuri dari akar katanya, setidaknya akan kita temukan delapan belas kali kata ini disebutkan dalam Al-Qur’an. Dan dari delapan belas kata al-birr dalam Al-Qur’an ini, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Kebaikan dalam arti umum

Seperti firman Allah swt. (Al-Maidah: 2), “… Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan …”

Oleh karenanya, Allah swt. melarang kita untuk memerintahkan orang lain mengerjakan kebaikan, sementara kita sendiri tidak melaksanakannya: “Mengapa kalian memerintahkan orang lain untuk mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupkan dirimu sendiri, padahal kalian membaca al-kitab (Taurat), maka tidakkah kamu berfikir?” (Al-Baqarah: 44)

2. Kebaikan dalam arti birrul walidain

Kebaikan seperti ini adalah sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam QS. Maryam: 14, “Dan berbakti kepada kedua orangtuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.”

3. Kebaikan dalam berinfak.

Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an (Ali Imran: 92), “Kamu sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

4. Kebaikan dalam bentuk sifat manusia yang baik.

Seperti yang Allah swt. firmankan (Ali Imran: 193), “Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang berbakti.”

5. Keluasan cakupan bentuk kebaikan

Yaitu sebagaimana yang Allah swt. jelaskan dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah: 177)

Akhlak Yang Baik

Al-birr yang mengandung makna begitu luas sebagaimana dijelaskan di atas, diberi penekanan oleh Rasulullah saw., bahwa yang dimaksud dengan al-birr adalah husnul khuluq atau akhlak yang baik. Akhlak yang baik memiliki urgensitas yang sangat penting dalam pribadi seorang mu’min, diantaranya adalah :

• Akhlak yang baik merupakan refleksi dari keimanan seseorang kepada Allah swt. Oleh karenanya Rasulullah saw. mengatakan dalam salah satu haditsnya: Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Ada dua hal yang keduanya tidak mungkin terkumpul dalam diri seorang mu’min, yaitu bakhil dan akhlak yang buruk.’ (Turmudzi)

• Akhlak yang baik merupakan bukti ketinggian keimanan seseorang. Semakin tinggi imannya maka akan semakin sempurna akhlaknya. Dalam hal ini, Rasulullah saw. mengemukakan: Dari Abu Hurairah ra berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesempurna-sempurnanya keimanan seorang mu’min adalah yang terbaik akhlaknya.’ (Abu Daud)

• Akhlak yang baik memiliki timbangan yang begitu besar di akhirat kelak, serta dapat menjadikan pelakunya menjadi ahlul jannah. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasannya Rasulullah saw. ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga. Rasulullah saw. menjawab, ‘Ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak yang baik.’ Dan beliau ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau menjawab, ‘Lisan dan kemaluan.’ (Turmudzi)

Seorang mu’min diminta untuk senantiasa berakhlak yang baik dalam bermuamalah terhadap siapapun dan di manapun, walaupun akhlak terhadap sesama manusia lebih ditekankan. Akhlak yang baik adalah mencakup segala macam bentuk kebaikan dalam bermuaamalah diantaranya adalah, jujur, amanah, menyambung persaudaraan, kasih sayang, lembut, tidak mudah marah, pemaaf, menjaga lisan, qanaah, tawadhu’, itsar, istiqomah, murah senyum, penolong, menepati janji, ridha, sabar, syukur, ‘iffah, adil, menyukai kebersihan dsb. Atau dengan kata lain, akhlak yang baik adalah segala perbuatan dan sifat yang positif, tidak mengandung unsur negatif serta tidak melanggar larangan-larangan Allah swt.

Istafti Qalbak (Mintalah Fatwa Pada Hatimu)

Ketika manusia sulit untuk membedakan antara kebaikan dengan keburukan, maka sesungguhnya ia dapat meminta pendapat dari hatinya sendiri mengenai hal tersebut; apakah perbuatan yang dilakukannya itu termasuk kebaikan (al-birr) ataukah bukan? Hadits di atas menggambarkan bahwa sesuatu yang ‘meragukan’ saja sudah masuk dalam kategori dosa (baca ; al-itsm), apalagi jika kita merasa tidak suka perbuatan tersebut diketahui orang lain, maka akan menjadi semakin jelas perbedaan antara kebaikan dan keburukan tersebut. Dan membedakan hal seperti ini, sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Dan manusia diminta untuk meminta pendapat dari fitrahnya.

Secara fitrah, manusia akan merasa terusik jiwanya, kehilangan ketentramannya, tertekan, dan gelisah manakala melakukan perbuatan dosa, kendatipun manusia membenarkan perbuatannya tersebut. Karena perbuatan tersebut akan berlabuh di hatinya. Sedangkan hati merupakan sentral dari baik buruknya seorang manusia. Dalam sebuah hadtis, Rasulullah saw. bersabda :

Dari Khudzaifah ra berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Hati itu terpaparkan dengan fitnah-fitnah seperti tikar yang terurai sehalai demi sehelai. Hati manasaja yang termakan dengan fitnah-fitnah tersebut (melakukan kemaksiatan), maka akan ternoda hatinya dengan noda-noda hitam. Dan hati mana saja yang menolak fitnah-fitnah tersebut, maka akan terwarna dengan warna putih, hingga nanti hati tersebut akan menjadi satu diantara dua; (1) menjadi putih seperti shafa (sesuatu yang bersih dan jernih), maka hati seperti ini tidak akan terganggu dengan fitnah-fitnah lainnya selama masih ada langit dan bumi. Dan (2) menjadi hati yang hitam yang kelam seperti cangkir yang dibalikkan yang tidak dapat mengetahui suatu kebaikan dan tidak pula dapat mengingkari kemungkaran, kecuali dari apa yang dilakukan berdasarkan hawa nafsunya.’ (Muslim)

Namun yang perlu digaris bawahi dalam masalah ini adalah bahwa tiada keraguan bagi sesuatu yang telah jelas-jelas diharamkan oleh Allah, ataupun yang telah dihalalkan Allah swt. Adapun keraguan yang yang dimaksud dalam hadits ini adalah keraguan yang tiada batasan jelas antara hak dan batil, tidak ada larangan secara syar’i namun hati kita menjadi ragu serta gelisah karenanya.

Hikmah Tarbawiyah

1. Pentingnya ‘amaliyah qalbi’ dalam hati setiap mu’min, khususnya aktivis da’wah. Karena qalbu merupakan bashirah yang dapat menunjukkan seseorang jalan yang baik dari jalan yang buru. Qalbu merupakan alat pemilah dan pemisah antara kesamaran yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.

2. Bahwa bagaimanapun juga manusia dalam kehidupannya akan menemukan satu keraguan dalam hidupnya; apakah dalam muamalah maliyah, ijtima’iyah, siyasiyah dan lain sebagainya. Oleh karenanya memungsikan qalbu secara fitrahnya dengan baik adalah satu solusi untuk dapat menemukan jalan kebenaran.

3. Bagaimanapun juga perbuatan dosa akan memberikan dampak negatif dalam kejiwaan seseorang. Kegundahan, gelisah, tidak tenang dan hal-hal negatif lainnya yang bersifat psikis. Karena perbuatan maksiat akan melahirkan noda-noda hitam dalam hati. Dan hati merupakan bahan bakar utama seseorang dalam mengarungi samudera kehidupan.

4. Ketika menemukan suatu perkara yang meragukan, membingungkan terlebih-lebih jika kita tidak menginginkan orang lain melihat kita dalam hal tersebut, maka segeralah ditinggalkan. Karena perkara tersebut sudah pasti termasuk perbuatan dosa, meskipun orang memfatwakannya halal.

5. Diantara cara yang cukup efektif dalam menekuni jalan yang baik adalah dengan cara berakhlak yang baik. Karena Allah akan memberikan jalan bagi akhlak yang baik, yang tidak akan Allah berikan pada yang lainnya.

Wallahu A’lam Bis Shawab
Oleh: Rizka Maulan M. Ag
dakwatuna

Kisah Lelaki Ahli Sedekah


Laki-laki itu. Tak satu pun pedagang dan peminta sumbangan yang melewatkan mejanya. Karena jika mereka menghampirinya, pasti akan ada sesuatu yang mereka terima. Tak pernah mereka pergi dengan tangan kosong. Seorang gadis kecil berjilbab, kulihat sering berkunjung dan keluar dari ruangannya menggenggam amplop.

Laki-laki itu. Adalah biasa baginya makan rujak dari bungkus yang sama dengan anak buahnya. Tak pernah menjadi masalah baginya bertanya,”Ada yang bawa kue/oleh-oleh, ya?“ dan kemudian mencomotnya. Sebagaimana tak masalah pula ketika para staf meminta dibelikan rujak atau makanan. Lembaran rupiah pun dengan ringan melayang.

Laki-laki itu. Ruang kerjanya terbuka untuk siapa saja. Tak ada istilah ruangannya adalah tempat istimewa yang tak boleh dijamah siapa pun. Tak ada kesan kebirokratisan sehingga anak buah dan rekan kerja menjadi sungkan. Hingga semua fasilitas di sana dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh anak buah: komputer, telepon, internet, bahkan bangku tamu pun dapat dijadikan tempat rapat, atau sekedar istirahat.

Laki-laki itu. Berbincang dan bercanda adalah salah satu kebiasaannya. Bahkan saling ledek dengan staf pun sesuatu yang biasa. Baginya tak ada bos dan bawahan. Karena semua adalah tim kerja, jabatan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan lembaga. Maka dirinya menjadi dekat dengan siapa saja -dari pejabat hingga office boy- tanpa harus kehilangan wibawa.

Laki-laki itu. Adalah kebetulan aku sedikit mengenal keluarganya. Dan karenanya aku tahu bagaimana rumahnya menjadi tempat berlabuh bagi banyak orang. Dan karenanya aku tahu, bahwa ia adalah seorang yang ringan tangan, ringan hati dan dermawan terhadap sesama. Pertama kali aku mengunjungi tempat tinggalnya, aku sempat terpana: rumah itu terlalu sederhana untuk seorang ia. Namun toh, rumah itu telah pernah menjadi tempat singgah begitu banyak jiwa.



Laki-laki itu. Berbincang dari hati ke hati dengannya bukan sekali dua saja kulakukan. Sejak pertama kali aku mengenalnya sekitar 6 tahun yang lalu, saat ia menjadi pejabat level paling bawah di kantorku, ia sudah menjadi seseorang yang cukup dekat denganku, termasuk dengan staf-staf lain tentunya. Kedekatan dan keakraban itu bahkan hingga taraf konsultasi kehidupan pribadi. Bahkan pernah ada saat-saat ia membuatku menangis dengan menanyakan hal-hal yang terkait dengan kehidupan pribadi. Dan sejak itu, ia terus menjadi salah satu bagian hidupku di dunia kantor.

Laki-laki itu. Postur tubuhnya ideal. Gerak geriknya gesit. Usianya belum lagi 40 tahun meski rambutnya nyaris telah memutih semua, (mungkin) karena banyak berpikir keras. Dalam enam tahun itu, karirnya terus menanjak, sedang banyak orang lainnya masih tetap sama seperti sebelumnya, termasuk diriku. Dalam enam tahun itu, ia terus berkembang, dipercaya oleh banyak pihak dan kemudian menjadi seseorang yang terpercaya.

“Nduk! Piye kabarmu sak wise kawin?” Laki-laki itu dengan to the point menyampaikan pertanyaan itu begitu aku duduk di depan mejanya. Beberapa saat sebelumnya, ia melambaikan tangan memanggilku ketika aku lewat, meski aku bukan lagi anak buahnya. Panjang lebar, aku becerita tentang kondisi terakhirku setelah sebulan menikah. Dan dari lisannya kemudian mengalir nasehat-nasehat panjang tentang pernak-pernik pernikahan yang kudengar baik-baik meski sekali-kali kami timpali dengan canda. Itulah saat terakhir aku berbincang cukup banyak dengannya.





Pengaturan Privasi di Facebook Disederhanakan

"Pengaturan saat ini terlalu kompleks dan menyebabkan banyak orang kesulitan mengaturnya secara efektif," kata Mark Zuckerberg, CEO dan pendiri Facebook, dalam konferensi pers di kantor pusatnya di Palo Alto, California, AS, Rabu (26/5/2010). "Kami ingin membuatnya jauh lebih mudah untuk mengatur privasi hanya dengan beberapa klik," paparnya seperti dilansir Boston.com.
Zuckerberg mengatakan bahwa Facebook akan menyediakan kontrol privasi lebih sederhana buat penggunanya untuk menentukan apakah informasi yang akan ditampilkannya hanya bisa diakses oleh teman, temannya teman, atau semua orang di internet. Fitur pengaturan tersebut akan diaplikasi ke semua konten dan informasi yang dipublikasikan setiap pengguna Facebook dan berlaku surut ke konten-konten yang sudah tampil sebelumnya.
Selain itu, Facebook akan mengubah direktori penggunanya agar hanya menampilkan informasi minimal saat muncul di hasil pencarian, misalnya nama, foto profil, dan jenis kelaminnya saja. Facebook baru akan membuka informasi lebih banyak jika pengguna menginginkannya.
Facebook juga akan menyediakan cara cepat bagi pengguna untuk menutup akses ke fitur "instant personalization" yang memungkinkan pihak ketiga mengakses informasi pribadi. Informasi yang muncul juga akan diminimalkan dan pihak ketiga harus meminta izin pengguna Facebook jika menginginkan informasi pribadi lebih banyak.
Meski demikian, Facebook menolak untuk menggunakan pola pengaturan privasi secara opt-in (yang disarankan sejumlah pihah yang mengkritiknya). Zuckerberg menyatakan bahwa visi Facebook adalah menghubungkan orang sebanyak mungkin dan berbagi informasi satu sama lain. Dalam kesempatan sebelumnya, Zuckerberg berkali-kali menekankan bahwa kebutuhan privasi telah mengalami perubahan di era yang terbuka saat ini dan pengguna internet tidak lagi butuh sesuatu yang serba rahasia.
Menjawab kritikan banyak pihak soal lemahnya perlindungan privasi terhadap para penggunananya, Facebook akhirnya memperbaiki fiturnya. Dalam beberapa hari ke depan, pengguna situs jejaring sosial di internet itu bisa mengatur data pribadi mereka lebih praktis dengan fitur yang lebih sederhana.

Awas, Serangan Ini Bisa 'Delete' Teman Facebook Anda

Sebuah kelemahan di Facebook berpotensi dimanfaatkan orang yang tak bertanggung jawab untuk mengacak-acak akun pengguna layanan jejaring sosial tersebut. Pasalnya, melalui celah tersebut, peretas (hacker) bisa menghapus (delete) daftar teman tanpa seizin pemilik akun.
Kelemahan tersebut ditemukan Steven Abbagnaro, mahasiswa di Marist College, Poughkeepsie, New York. Ia mengatakan bahwa orang yang tak bertanggung jawab mungkin saja mengombinasikan serangan ke celah tersebut dengan spam atau worm untuk menyebar ke sebanyak mungkin pengguna secara efektif.
Abbagnaro menjelaskan, kode program bisa dibuat untuk menghapus data-data yang dipublikasikan oleh pengguan Facebook. Kemudian, kode itu satu demi satu menghapus teman-teman si pemilik akun. Namun, untuk bisa bekerja, pelaku harus menjebak korban agar menjalankan kode tersebut dengan menge-klik tautan ke kode jahat tersebut.
Ia tak mau mengungkap kelemahan atau kode yang bisa menyerang tersebut sampai Facebook melakukan perbaikan. Namun, ia yakin bahwa peretas yang andal pasti punya cara untuk mendeteksi kelemahan itu, tinggal berniat jahat atau tidak.
Sebelumnya, MJ Keith, analisis keamanan senior dari Alert Logic, juga melaporkan kelemahan sejenis. Ia melaporkan kelemahan yang disebut "cross-site requet forgery bug". Melalui celah tersebut, pelaku yang iseng bisa memilih tombol "like" tanpa sepengetahuan pengguna.
Jadi, buat pengguna Facebook, jangan asal ngeklik. Pastikan apa pun yang Anda klik bisa dipercaya.

Kesehatan - 3 Kiat Jitu Berhenti Merokok

Kalau tekad Anda sudah kuat, bukan tak mungkin aktivitas merokok berhenti sama sekali. (Foto: gettyimages)
BERHENTI merokok bagi sebagian orang sangat sulit dilakukan, terutama bagi para perokok berat. Kalau tekad Anda sudah kuat, bukan tak mungkin aktivitas merokok berhenti sama sekali.

Spesialis Paru dari RSUP Persahabatan, Jakarta, dr Sita Andarini membeberkan beberapa tip yang bisa Anda coba. Pada dasarnya, untuk bisa berhenti merokok ada dua metode yang bisa dilakukan, yakni metoda tanpa obat dan dengan obat.

“Untuk metode tanpa obat bisa dilakukan dengan cara konseling berhenti merokok dan konseling sosial. Kalau dengan obat bisa dilakukan dengan cara nicotine replacement, dan sebagainya," ujar dr Sita dalam seminar memeringati hari kanker sedunia bertema “Kanker Dapat Dicegah” yang diadakan oleh Kemenkes RI di Hotel Sahid, Jakarta, Senin (26/4/2010).

Lebih lanjut, dr Sita menyebutkan tiga cara berhenti merokok. Pertama, perokok dapat berhenti seketika. "Hari ini Anda merokok, besok Anda berhenti sama sekali. Untuk kebanyakan orang, cara ini yang paling berhasil. Untuk perokok berat, mungkin dibutuhkan bantuan medis untuk mengatasi efek ketagihan," paparnya.

Kedua, penundaan. Misalnya, menunda saat menghisap rokok pertama, dua jam setiap hari dari hari sebelumnya sementara jumlah rokok yang dihisap tidak dihitung.

"Misalnya kebiasaan menghisap rokok pertama rata-rata pukul 07.00 WIB, berhenti merokok direncanakan dalam waktu tujuh hari. Maka, rokok pertama ditunda merokoknya; hari pertama pukul 09.00 WIB, hari kedua pukul 11.00 WIB, hari ketiga pukul 13.00 WIB, hari keempat pukul 15.00 WIB, hari kelima pukul 17.00 WIB, hari keenam pukul 19.00 WIB, dan hari ketujuh pukul 21.00 WIB," jelasnya.

Ketiga, dengan mengurangi jumlah rokok per hari yaitu jumlah rokok yang dihisap per hari dikurangi secara berangsur-angsur dengan jumlah yang sama sampai nol batang pada hari yang ditetapkan.

"Misalnya, jika Anda menghisap rokok 28 batang per hari. Berhenti merokok dapat direncanakan dalam waktu tujuh hari. Hari pertama 24 batang, hari kedua 20 batang, hari ketiga 16 batang, hari keempat 12 batang, hari kelima 8 batang, hari keenam 4 batang, dan hari ketujuh 0 batang," tutupnya.

Selamat mencoba!
lifestyle.okezone.com

Kamis, 27 Mei 2010

Little House on the Prairie TV Show Intro



Pelajaran dari "Si Burung Elang Perang Uhud"


Kala itu, masa generasi terbaik, generasi yang mampu memberikan cahaya terang di tengah pekatnya kegelapan. Pengukir sejarah perjuangan gemilang. Gagah dengan kewibawaan Islam dan kokoh karena kekuatan iman.

Hari itu perang uhud, thalhah ubaidilah, “si burung elang perang uhud”, begitulah julukan yang diberikan oleh Rasulullah kepadanya. Kisah hebat yang tentunya sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya.

Diceritakan, ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah saw dalam bahaya akibat pasukan pemanah tidak disiplin dalam menjaga pos-pos di bukit, pasukan musuh bagai kesetanan merangsek maju untuk mengejar para mujahidin dan Rasulullah saw. Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah. Dengan pedang-pedang mereka yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari, para sahabat dengan sekuat tenaga melindungi.

Mereka pun rela terkena sabetan, tikaman pedang, tusukan tombak dan anak panah. Tetapi para sahabat tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, "Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah". Pertempuran pun terus berlanjut. Tak terpikir oleh mereka untuk mundur sebagai pengecut. Hanya ada dua pilihan, hidup mulia atau mati sebagai syuhada.

Thalhah adalah salah satunya. Di ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat lincah ke arah Rasulullah yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya. Ia tak akan membiarkan senjata-senjata tajam musuh mengenai tubuh rasulullah, meskipun dengan itu dirinya menjadi menderita.

Alhamdulillah, Rasul pun selamat. Kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira sang nabi telah tewas, padahal selamat, walaupun dalam keadaan luka-luka. Para sahabat menjadi lega, sebelumnya mereka sangat khawatir terjadi apa-apa dengan seseorang yang paling dikasihinya.

Kemudian Rasul dipapah oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, "Aku tebus engkau Ya Rasulullah dengan ayah ibuku."

Nabi tersenyum dan Bersabda: " Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh… ". Yang dimaksud Rasulullah adalah memperoleh surga.

Sungguh peristiwa yang sangat luar biasa, suatu ketika Abu Bakar Ash Shidiq ra.pernah berkata, "Perang Uhud adalah harinya Thalhah. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah saw. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: "Lihatlah saudaramu ini." Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus.". Subhanallah!

Sebuah pelajaran berharga dari sahabat thalhah, pahlawan Islam yang gagah berani, rela berkorban apa saja demi Allah dan Rasul-Nya, untuk kemuliaan agamanya. Karena ia tahu, nilai dunia itu tak ada apa-apanya, akheratlah masa depan yang sesungguhnya. Berbahagialah thalhah, ia mendapatkan tempat yang mulia disisi-Nya.

Semoga kita bisa meneladani sikap sahabat thalhah, bukannya menjadi singa-singa yang terkulai, lemah tak berdaya, bertekuk lutut pada gemerlapnya dunia.

Saat ini Islam sedang dihinakan, apakah kita hanya diam dan berpangku tangan, ataukah kita mau untuk bangkit berjuang demi kemuliaan Islam. Sungguh tiada kemuliaan tanpa Islam, tiada Islam tanpa syariah, dan tidak sempurna syariah tanpa daulah khilafah Islamiyah.

By: Ali Mustofa

Quran Reader - Read Qur'an in 40 Languages - iloveAllaah.com

Quran Reader - Read Qur'an in 40 Languages - iloveAllaah.com

makanan

"Seburuk2 makanan adlh makanan walimah jika yg diundang hanyalah org2 kaya saja sementara org2 miskin tak diundang. Dan barang siapa yg tdk memnuhi undangan, maka berarti ia telah berbuat durhaka kpd Allah dan Rasul-Nya." (Shahih Muslim: 2585)

How to Preserve the Muslim Family

Muslim families are at the crossroads today. The Western model is not a suitable pattern for the family life. Its style of family life has resulted in conjugal infidelity, large scale marriage breakdown, high rates of divorces, separations, broken homes, alcoholism, drug addiction, libertinism and the like.

Those who blindly mimic Western model, exploit their women to such an extent that the latter are made mere sex objectives. The only solution to the Muslim family's predicament is maintenance of Islamic family values. Islam builds the family on solid grounds, which are capable of providing continuity, security, mutual love and intimacy.

With a view to making the foundations of the family strong and natural, Islam not only recognizes but also lays emphasis on marriage, which is a wholesome pattern of lawful intimacy harmoniously blended with decency, morality and gratification.

Marriage and the family are the focal point in the Islamic system. There are many verses in the Qur'an and many statements of the Prophet (Pbuh), which declare marriage to be a moral safeguard and a religio-social commitment.

The aim of the Muslim family must be worship of Allah, as marriage is considered to be yet another form of Ibadah (Worship). If the aim of the family is carnal satisfaction or worldly gains, then the family institution fails miserably.

The responsibility of the family does not revolve solely on the husband or the wife or on children or grandchildren. It is a collective responsibility on all of them together and even beyond that to the previous generation of grandparents.

A family can be a Muslim family, only if parents behave correctly and follow the Sunnah.

If they do not live in accordance with the Sunnah, they have no right to hope or expect their children to be good Muslims. As you sow, so you reap. Cultivation of Islamic values is essential in a Muslim family and they should not only be cultivated but also nurtured. Our likes and dislikes, our conception of nice and vulgar, good and neat and chaotic, etc., must be in conformity with the Sunnah, for the Prophet(Pbuh) is reported to have said: "The one among you does not believe unless his own desires and likings are in conformity with what I have brought." This applies to personal habits, dress, food manners, etc.,


For the preservation and maintenance of the Muslim family, there must be instilled in its members a strong sense of belonging to the Muslim Ummah. The family is not an individual entity; it is a social aspect and so must be strengthened.


A Muslim family must socialize with other Muslim families. Parents must, no doubt, avoid corrupt people and refrain from socializing in sick environment. And also their children should do the same.


At the same time, they must provide better alternatives and there can be no better alternative than befriending good Muslims, especially Ulamas (scholars).


These are some ways of promoting and preserving the Muslim family. In conclusion, I fervently appeal to my fellow-religionists to remain continuously conscious and creative about the Islamic aspects.


Educated Muslims must apply the Islamic concepts; "think", "contemplate", "look", "realize", "know", "become wise", "reason", etc., on the Muslim society, and help in transformation of the Qur'anic and Prophetic concepts of the family into our daily life.

By Sumayyah bint Joan

El Enigma 2012 (10/11), David Wilcock, Español. (CC)

2012 Event Horizon: (4) Prophecies and Science of a Golden Age, by David...

The Chemical Brothers - Where Do I Begin

Andy Williams - Where Do I Begin [ Love Story ]

Stark Expo 2010: AccuTech

Back to the Future 1 & 2 Simultaneous Part 1

Sedekah Yang Paling Afdhol

Dalam sebuah hadits terdapat penjelasan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengenai aktifitas bersedekah yang paling utama alias afdhol.

Tidak semua bentuk bersedekah bernilai afdhol. Bagi orang yang berusia muda dan sedang energik tentunya bersedekah memiliki nilai lebih tinggi di sisi Allah daripada bersedekahnya seorang yang telah lanjut usia, sakit-sakitan, dan sudah menjelang meninggal dunia.

Untuk itulah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memberikan gambaran kepada ummatnya mengenai sedekah yang paling afdhol.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ

تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ

قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

“Seseorang bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling afdhol?” Beliau menjawab: “Kau bersedekah ketika kau masih dalam keadaan sehat lagi loba, kau sangat ingin menjadi kaya, dan khawatir miskin. Jangan kau tunda hingga ruh sudah sampai di kerongkongan, kau baru berpesan :”Untuk si fulan sekian, dan untuk si fulan sekian.” Padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris).” (HR Bukhary)

Coba lihat betapa detilnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan ciri orang yang paling afdhol dalam bersedekah. Sekurangnya kita temukan ada empat kriteria: (1) Dalam keadaan sehat lagi loba alias berambisi mengejar keuntungan duniawi; (2) dalam keadaan sangat ingin menjadi kaya; (3) dalam keadaan sangat khawatir menjadi miskin dan (4) tidak dalam keadaan sudah menjelang meninggal dunia dan bersiap-siap membuat aneka wasiat soal harta yang bakal terpaksa ditinggalkannya.

Pertama, orang yang paling afdhol dalam bersedekah ialah orang yang dalam keadaan sehat lagi loba alias tamak alias berambisi sangat mengejar keuntungan duniawi.

Artinya, ia masih muda lagi masa depan hidupnya masih dihiasi aneka ambisi dan perencanaan untuk menjadi seorang yang sukses, mungkin dalam karirnya atau bisinisnya.

Dalam keadaan seperti ini biasanya seseorang akan merasakan kesulitan dan keengganan bersedekah karena segenap potensi harta yang ia miliki pastinya ingin ia pusatkan dan curahkan untuk modal menyukseskan berbagai perencanaan dan proyeknya.

Dengan dalih masih dalam tahap investasi, maka ia akan selalu menunda dan menunda niat bersedekahnya dari sebagian harta yang ia miliki. Karena setiap ia memiliki kelebihan harta sedikit saja, ia akan segera menyalurkannya ke pos investasinya.

Setiap uang yang ia miliki segera ia tanam ke dalam bisnisnya dan ia katakan ke dalam dirinya bahwa jika ia bersedekah dalam tahap tersebut maka sedekahnya akan terlalu sedikit, lebih baik ditunda bersedekah ketika nanti sudah sukses sehingga bisa bersedekah dalam jumlah ”signifikan” alias berjumlah banyak. Akhirnya ia tidak kunjung pernah mengeluarkan sedekah selama masih dalam masa investasi tersebut.

Kedua, bersedekah ketika dalam keadaan sedang sangat ingin menjadi kaya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam seolah ingin menggambarkan bahwa orang yang dalam keadaan tidak ingin menjadi kaya berarti bersedekahnya kurang bernilai dibandingkan orang yang dalam keadaan berambisi menjadi kaya. Sebab bila seorang yang sedang berambisi menjadi kaya bersedekah berarti ia bukanlah tipe orang yang hanya ingin menikmati kekayaan untuk dirinya sendiri.

Ia sejak masih bercita-cita menjadi kaya sudah mengembangkan sifat dan karakter dermawan. Hal ini menunjukkan bahwa jika Allah izinkan dirinya benar-benar menjadi orang kaya, maka dalam kekayaan itu dia bakal selalu sadar ada hak kaum yang kurang bernasib baik yang perlu diperhatikan.

Sekaligus kebiasaan bersedekah yang dikembangkan sejak seseorang baru pada tahap awal merintis bisnisnya, maka hal itu mengindikasikan bahwa si pelaku bisnis itu sadar sekali bahwa rezeki yang ia peroleh seluruhnya berasal dari Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah Ar-Razzaq.

Hal ini sangat berbeda dengan orang kaya dari kaum kafir seperti Qarun, misalnya. Qarun adalah tokoh kaya di zaman dahulu yang di dalam meraih keberhasilan bisnisnya menyangka bahwa kekayaan yang ia peroleh merupakan buah dari kepiawaiannya dalam berbisnis semata.

Ia tidak pernah mengkaitkan kesuksesan dirinya dengan Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah swt.

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِ

“Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".(QS Al-Qshshash ayat 78)

Ketiga, sedekah menjadi afdhol bila si pemberi sedekah berada dalam keadaan khawatir menjadi miskin. Walaupun ia dalam keadaan khawatir menjadi miskin, namun hal ini tidak mempengaruhi dirinya. Ia tetap berkeyakinan bahwa bersedekah dalam keadaan seperti itu merupakan bukti ke-tawakkal-annya kepada Allah.

Ia sadar bahwa jika Allah kehendaki, maka mungkin sekali dirinya menjadi kaya atau menjadi miskin. Itu terserah Allah. Yang pasti keadaan apapun yang dialaminya tidak mempengaruhi sedikitpun kebiasaannya bersedekah.

Ia sudah menjadikan bersedekah sebagai salah satu karakter penting di dalam keseluruhan sifat dirinya. Persis gambarannya seperti orang bertaqwa di dalam Al-Qur’an:

أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

”... yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS Ali Imran ayat 133-134)

Keempat, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sangat mewanti-wanti agar jangan sampai seseorang baru berfikir untuk bersedekah ketika ajal sudah menjelang. Sehingga digambarkan oleh beliau bahwa orang itu kemudian baru menyuruh seorang pencatat menginventarisasi siapa-siapa saja fihak yang berhak menerima harta miliknya yang hendak disedekahkan alias diwasiatkan.

Ini bukanlah bentuk bersedekah yang afdhol. Sebab pada hakikatnya, seorang yang bersedekah ketika ajal sudah menjelang, berarti ia melakukannya dalam keadaan sudah dipaksa oleh keadaan dirinya yang sudah tidak punya pilihan lain.

Bila seseorang bersedekah dalam keadaan ia bebas memilih antara mengeluarkan sedekah atau tidak, berarti ia lebih bermakna daripada seseorang yang bersedekah ketika tidak ada pilihan lainnya kecuali harus bersedekah.

Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam lebih menghargai orang yang masih muda lagi sehat bersedekah daripada orang yang sudah tua dan menjelang ajal baru berfikir untuk bersedekah.

Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa bersedekah yang paling afdhol. Terimalah, ya Allah, segenap infaq dan sedekah kami di jalanMu. Amin.-


Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/sedekah-yang-paling-afdhol.htm